Ilustrasi : Edi Wahyono
Rabu, 11 Juni 2025
Rusli—bukan nama sebenarnya—membeli rumah subsidi di Bekasi Timur sekitar tahun 2016. Saat itu, ia masih sekolah. Ia tidak membeli rumah itu dengan pendapatan tetap atau gaji bulanan, tetapi melalui rekayasa administratif yang dibantu ayahnya.
“Gue dulu itu dibikinin bokap gue gitu-lah, jadi kaya karyawan honorer,” kata laki-laki berusia 34 tahun itu kepada detikX.
Ayah Rusli merupakan pejabat di lembaga yang kompeten mengelola pajak. Status ‘honorer’ itu cukup untuk mengajukan kredit rumah subsidi. Harga rumahnya sekitar Rp 200 juta. “DP (uang muka)-nya sih waktu itu nyokap gue yang bayar. Kayaknya sekitar Rp 20 atau 25 juta,” ujarnya.
Rumah tersebut dicicil selama 20 tahun dengan angsuran bulanan sebesar Rp 900 ribu. Tipe rumahnya sekitar 60 meter persegi dengan luas tanah 5x12 meter. “Dua kamar, tapi waktu itu inden. Dari tanah kosong sampai jadi, setahun,” ucapnya.
Namun, begitu rumah selesai dibangun, Rusli kecewa dengan kualitas bangunan. Beberapa bagian bangunan rumahnya tidak presisi. Menurutnya, rumah itu dibangun instan asal jadi saja. Alhasil, Rusli dan keluarganya tak pernah menempati rumah itu.
“Istri gue nggak mau, kayak rumah Barbie katanya,” ujarnya.
Rumah itu akhirnya ia jadikan investasi, walaupun ia sadar itu bertentangan dengan aturan program rumah subsidi yang ditujukan untuk hunian pertama masyarakat berpenghasilan rendah. Selama empat tahun pertama, rumah tersebut dibiarkan kosong. Baru sekitar 2020, saat pandemi COVID-19 melanda, rumah itu dikontrakkan. Kondisinya saat itu butuh banyak perbaikan: bocor, air tak mengalir lancar, dan listrik belum optimal.
Ia menyadari keputusan tersebut melanggar aturan, tapi ia tak punya pilihan lain. Karena berbagai kendala teknis, baginya rumah itu mustahil untuk ia tempati bersama keluarga.
“Karena daerahnya juga jauh, akses nggak bagus,” ujarnya.
Meski tol di dekat perumahan telah selesai dibangun, menurut Rusli, akses dari gerbang tol ke rumah masih sekitar 30 menit. “Jalan ke dalamnya juga kecil," ucapnya.
Konsumen rumah subsidi lainnya ialah Putri. Ia menandatangani akad rumah subsidi pertamanya pada Februari 2024. Perempuan berusia 30 tahun asal Lampung ini telah memulai prosesnya sejak pertengahan tahun sebelumnya dengan uang muka Rp 7 juta.
“Booking-nya Agustus atau September. Dijanjikannya bisa ditempati November 2024, tapi ngaret. Baru jadi Februari tahun ini,” kata Putri kepada detikX saat dihubungi lewat sambungan telepon.
Meski penantian cukup lama, akhirnya rumah itu rampung. Putri mulai tinggal di hunian barunya sekitar dua bulan setelahnya. Rumah tersebut berukuran sekitar 36/60, standar rumah subsidi pada umumnya. Ia mencicil sebesar Rp 1.050.000 per bulan selama 20 tahun.
Denah rumah subsidi 18 meter dari Kementerian PKP.
Foto : Dok. Kementerian PKP/detikProperti
Jika dihitung keseluruhan, nilai rumahnya sekitar Rp 168 juta dan dengan cicilan total bisa mencapai Rp 210 juta. Di luar DP dan cicilan awal, ia juga mengeluarkan dana sekitar Rp 500 ribu untuk meterai dan biaya administrasi lainnya. Namun, meski secara bangunan rumah itu sudah berdiri, kualitasnya jauh dari memuaskan.
“Untuk bangunannya ya, sesuai, tapi untuk bahannya nggak. Kamar mandi banyak keramik yang pecah, banyak yang kopong. Baru dua bulan tinggal, udah bocor, ngerembes gitu,” ujarnya.
Putri juga menyoroti pekerjaan sumur bor yang belum tuntas. “Janjinya sumur bor 20 meter, baru 6 meter sudah lanjut ke blok lain. Jadi pas kami sudah tempatin itu baru dikerjain lagi.”
Selain itu, akses menuju kompleks perumahan itu terbilang buruk. Jarak ke fasilitas publik pun cukup jauh. Dibandingkan dengan tempat tinggalnya sebelumnya di pusat kota, akses rumah subsidi ini jelas lebih menyulitkan.
“Untuk masuk ke perumahannya itu jelek banget, jelek parah pokoknya. Ke mal sekitar 20-30 menit, ke rumah sakit juga segitu. Kalau ke tol sekitar 20 menit,” kata Putri.
Sengkarut masalah rumah subsidi memang tak kunjung usai. Selain dibelit buruknya kualitas, sederet pelanggaran aturan juga minim pengawasan serta penindakan.
Temuan Badan Pemeriksa Keuangan, terdapat pemberian rumah subsidi yang tidak tepat sasaran. Ada permasalahan pembayaran subsidi selisih bunga kepada debitur KPR bersubsidi yang klaim asuransinya telah dibayar asurador dan potensi dendanya belum dipungut. Serta pembayaran kepada debitur yang sama pada subsidi selisih bunga atas debitur KPR bersubsidi. Hal itu tertuang dalam laporan keuangan Belanja Subsidi Bunga Kredit Perumahan dan Subsidi Bantuan Uang Muka Perumahan Tahun 2021.
Di tengah masalah-masalah yang melingkupi program rumah bersubsidi, pemerintah melalui Kementerian Perumahan dan Kawasan Permukiman mengemukakan wacana memperkecil ukuran rumah subsidi. Beberapa pihak menolak usul tersebut karena dinilai akan menimbulkan lebih banyak masalah.
Anggota Satgas Percepatan Penyediaan Perumahan Bonny Zulkarnain mengatakan ukuran rumah 18 meter persegi dinilainya bertentangan dengan prinsip dasar hunian yang layak.
“Itu nggak manusiawi,” tegas Bonny saat dihubungi detikX.
Ia menegaskan usulan itu tidak pernah dikoordinasikan dengan Satgas, dan justru muncul di luar jalur birokrasi yang semestinya. “Saya yakin Presiden (Prabowo Subianto) tidak setuju. Karena kita diamanahi untuk membangun tingkat perumahan yang lebih baik, bukan lebih sempit.”
Bagi Bonny, ukuran 36 meter persegi adalah batas minimum rumah sehat sesuai standar nasional (SNI) dan juga telah dirujuk dalam diskusi dengan World Bank dan WHO. Dalam konteks global, rumah dengan luas 40 meter dianggap standar minimum untuk menjamin kesehatan dan kenyamanan penghuninya. Maka, saat muncul draf dari Kementerian PUPR yang menawarkan pilihan rumah subsidi mulai dari 18 hingga 36 meter, ia langsung menyatakan penolakan.
“Kalau 18 meter, bagaimana bisa sehat?”
Kondisi proyek rumah subsidi yang dikenal 'Rumah Murah Jokowi di Cikarang'. Rumah subsidi di Villa Kencana Cikarang ini banyak yang kosong serta ditumbuhi tanaman liar.
Foto : Kholida Qothrunnada/detikcom
Bonny melihat rencana ini bukan hanya keliru secara substansi, tetapi juga mundur dari visi pembangunan perumahan nasional. Ia mengingatkan kembali mandat Presiden yang pernah ia terima secara langsung: membangun rumah rakyat dengan standar hidup yang lebih baik.
“Kalau sekarang malah dikurangi, buat apa kita dialog panjang lebar waktu itu?”
Tak hanya soal kesehatan, ia menyebut rumah dengan ukuran sangat kecil juga akan membatasi mobilitas, kenyamanan, dan kualitas hidup penghuni, terutama keluarga muda yang berpenghasilan rendah. Ruang yang terlalu sempit berisiko menimbulkan kepengapan, kelembapan, dan kurang sinar matahari, yang semuanya bisa berdampak negatif pada kondisi fisik dan psikologis penghuni.
Kritik juga datang dari kalangan pengembang. Ketua Umum Asosiasi Pengembang Rumah Sederhana (Asprumnas), Muhamad Syawali Pratna, menyebut rumah seluas 18 meter dengan tanah hanya 25 meter tidak relevan, baik saat ini maupun ke depan.
Dalam wawancara via telepon, Syawali Pratna menegaskan pihaknya tidak pernah secara eksplisit menyetujui rencana itu, meski dalam forum diskusi dengan Kementerian PUPR pada 2 Juni lalu di Bandung, para asosiasi mengaku menyampaikan penolakan mereka secara halus.
“Tanah 25 itu nggak memungkinkan untuk diperluas lagi. Kalau nanti punya anak, ada tamu, apalagi mertua nginap seminggu, gimana?” ujarnya.
Ia menyebut rumah 18 meter itu mirip gudang atau unit studio, tanpa ruang tidur, dapur layak, atau ruang penyimpanan.
“Studio itu kan harus ada kamar mandi, dapur, lemari. Kalau untuk bujangan mungkin gak masalah, tapi kalau sudah menikah? Mau tidur di mana anaknya nanti?”
Syawali Pratna mengingatkan rumah subsidi tidak boleh diperlakukan seperti produk komersial murni, apalagi jika alasannya semata-mata agar harga jual lebih murah.
“Kita bukan hanya bicara harga, tapi nilai kemanusiaan. Dalam kaidah internasional, satu jiwa butuh 9 meter persegi ruang. Jadi dua orang ya minimal 18 meter. Itu belum termasuk dapur, toilet, atau ruang sirkulasi," tegasnya.
Lebih lanjut, ia menyoroti ketidaksesuaian desain rumah kecil dengan regulasi teknis bangunan, seperti koefisien dasar bangunan (KDB). Dengan lahan 25 meter dan bangunan 18 meter, KDB sudah mencapai 62 persen, padahal batas idealnya adalah 60 persen. Jika ingin menambah ruang, seperti membuat kamar anak, berarti melanggar aturan.
“Kalau mau ditingkat, nggak bisa. Rumah subsidi kan nggak boleh ditingkat. Harus revisi undang-undang dulu,” kata Syawali.
Menurutnya, logika ketersediaan lahan atau kemampuan membeli tidak boleh menjadi alasan untuk menurunkan kualitas hunian.
Salah satu perumahan subsidi di Bekasi, Jawa Barat, tampak tak terawat.
Foto : Pradita Utama/detikProperti
“Kalau di kota nggak cukup, ya kita sudah siap dengan (hunian) vertikal. Jangan paksa semua mendarat di atas tanah sekecil itu," ucapnya.
Ketua Aliansi Pengembang Perumahan Nasional Jaya (Apernas Jaya) Andriliwan Muhamad mengungkapkan para pengembang sebenarnya belum sepenuhnya sepakat dengan konsep tersebut. Ia khawatir konsep itu justru menghilangkan fungsi sosial rumah dan menjadi objek spekulatif.
“Kami khawatir rumah ini hanya dipakai sementara, lalu ditinggalkan atau disewakan. Padahal, dalam akad sudah jelas, rumah subsidi tidak boleh dikontrakkan," kata Andriliwan kepada detikX.
Solusi yang lebih ideal, menurutnya, mendorong model hunian vertikal minimalis, terutama untuk daerah perkotaan padat seperti Jakarta, Depok, atau Surabaya. Ia menyebut program semacam itu tidak hanya menyelamatkan kualitas hunian, tetapi juga menjadi solusi bagi backlog nasional.
“Daripada lahan sempit dijadikan rumah seperti gudang, lebih baik kita maksimalkan gedung-gedung tua milik pemerintah untuk dijadikan apartemen vertikal bagi MBR,” katanya.
Hal serupa juga disampaikan oleh Ketua Umum Himpunan Pengembang Permukiman dan Perumahan Rakyat (Himperra), Ari Tri Priyono. Menurutnya, rumah bersubsidi seharusnya tetap dibangun dengan prinsip rumah tumbuh, yakni rumah yang bisa dikembangkan seiring pertambahan anggota keluarga. Ia pun mengusulkan agar tetap ada halaman depan dan sisa ruang belakang, seperti dalam skema rumah ukuran 21 dengan tanah 35-40 meter persegi.
“Kalau hanya 18 meter, di depan dan belakang sudah tidak ada ruang lagi. Bagaimana kalau anak lahir? Di mana mau ditaruh kamar?” ujarnya.
Di sisi lain, risiko kekumuhan dan kerusakan pasar juga mengintai. Jika ukuran rumah ini diadopsi secara luas, terutama di daerah yang masih tersedia banyak lahan, bisa terjadi distorsi pasar.
“Kalau ini ditaruh di daerah seperti Kabupaten Bogor, harga rumahnya bisa Rp 120 juta atau Rp 130 juta. Orang pindah semua ke situ. Pasar rusak, dan kepadatan permukiman bisa menciptakan kekumuhan,” katanya.
Lebih dari itu, ia mengingatkan aturan tata ruang dan proporsi hunian sehat pun dapat dilanggar jika pembangunan dipaksakan di lahan sempit. Dalam perhitungan ruang per jiwa, standar internasional menyebut kebutuhan sekitar 7 hingga 9 meter persegi per orang. Dengan luas hanya 18 meter, rumah hanya ideal untuk dua orang dewasa.
Ke depan, ia berharap pemerintah tetap menjaga standar layak huni dalam program perumahan bersubsidi. Rumah murah bukan berarti rumah sempit yang tidak berkembang. Rumah subsidi seharusnya tetap menjaga prinsip hunian yang sehat, layak, dan berkelanjutan.
“Kalau terlalu kecil, akhirnya jadi rumah singgah. Bukan rumah seumur hidup,” katanya.
Reporter: Ahmad Thovan Sugandi, Ani Mardatila, Fajar Yusuf Rasdianto
Penulis: Ahmad Thovan Sugandi
Editor: Dieqy Hasbi Widhana
Desainer: Fuad Hasim