Gaza City -
"Korban massal, banyak yang mengalami luka tembak atau pecahan peluru" adalah pesan yang diterima para petugas medis di rumah sakit lapangan Palang Merah di Gaza selatan, akhir pekan lalu.
Informasi ini dipublikasikan oleh Palang Merah Internasional saat muncul laporan dan klaim yang saling bertentangan soal kejadian di dekat pusat distribusi bantuan di Rafah.
Pada peristiwa itu setidaknya 31 warga sipil dan lebih dari 200 orang lainnya terluka dalam serangan pasukan Israel, menurut catatan Kementerian Kesehatan Gaza dan kantor media milik pemerintahan Palestina.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dalam informasi terbaru, mereka menyebut satu orang juga tewas di dekat pusat bantuan lainnya, di sekitar Jembatan Wadi Gaza.
Pasukan Pertahanan Israel (IDF) membuat klaim bahwa "mereka tidak menembaki warga sipil".
Setelah peristiwa itu, IDF menyebar video dari pesawat nirawak. Mereka membuat klaim bahwa video itu memperlihatkan orang-orang bersenjata dan bertopeng melemparkan batu dan menembaki warga sipil saat mereka mengumpulkan bantuan di dekat Khan Younis. BBC tidak dapat segera memverifikasi rekaman tersebut.
Namun BBC dihubungi oleh para dokter yang bekerja di Rumah Sakit Nasser, di Khan Younis. Mereka berkata telah menerima sekitar 200 orang dengan luka-luka yang disebabkan peluru atau pecahan peluru.
Seorang tentara IDF di Rafah menghubungi BBC untuk mengatakan bahwa tentara Israel memang melepaskan tembakan di dekat kerumunan warga sipil yang tengah menanti bantuan kemanusiaan. Namun dia berkata pasukannya tidak mengarahkan moncong senjata ke arah warga sipil. Dia juga membuat klaim "tidak ada yang terkena tembakan itu".
Menurut laporan Mohammed Ghareeb, seorang jurnalis di Rafah, warga Palestina berkumpul di dekat pusat distribusi bantuan yang dikelola oleh Yayasan Kemanusiaan Gaza (GHF) ketika tank-tank Israel mendekat dan menembaki kerumunan.
GHF adalah lembaga bantuan kontroversial yang didukung oleh pemerintah Israel dan AS. Pertanyaannya, siapa sebenarnya GHF?
Bagaimana GHF berencana memasok bantuan ke Gaza?
Program GHF telah menuai kritik dan menjadi sorotan.
Kelompok ini menggunakan jasa kontraktor keamanan dari AS.
Mereka dibentuk untuk memotong peran Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) sebagai pemasok utama bantuan bagi 2,1 juta orang di Gaza.
Para ahli telah memperingatkan bahwa warga Gaza menghadapi ancaman kelaparan akibat blokade Israel selama 11 minggu.
Berdasarkan mekanisme GHF, warga Palestina harus mengumpulkan kotak berisi makanan dan perlengkapan kebersihan dasar di empat lokasi distribusi yang berada di Gaza selatan dan tengah.
Keempat lokasi itu "akan diamankan" oleh kontraktor Amerika. Pasukan Israel secara teknis berpatroli di sekeliling lokasi itu.
Untuk masuk ke lokasi itu, warga Palestina harus menjalani pemeriksaan identitas dan penyaringan menggunakan pemindaian biometrik dan teknologi pengenalan wajah.
Tujuan mekanisme itu adalah mencegah "orang-orang yang berafiliasi dengan Hamas" masuk ke lokasi distribusi bantuan.
Namun hingga saat ini banyak mekanisme pembagian bantuan yang belum dijelaskan.
Blokade bantuan kemanusiaan yang diberlakukan Israel selama 11 minggu berpotensi memicu bencana kelaparan, menurut banyak pakar (Getty Images)
Siapa di balik GHF?
PBB dan banyak kelompok bantuan kemanusiaan menolak bekerja sama dengan GHF. Menurut mereka, yang dilakukan GHF bertentangan dengan prinsip-prinsip kemanusiaan. Mereka juga menduga GHF "mempersenjatai bantuan".
Seorang juru bicara PBB menyebut apa yang dilakukan GHF merupakan "pengalihan dari apa yang sebenarnya dibutuhkan". PBB mendesak Israel membuka kembali semua penyeberangan menuju Gaza.
PBB dan badan-badan bantuan lainnya bersikeras bahwa mereka tidak akan bekerja sama dengan skema apa pun yang gagal menghormati prinsip-prinsip kemanusiaan yang mendasar.
Berbagai badan kemanusiaan ini memperingatkan bahwa sistem GHF akan mengecualikan orang-orang yang dengan masalah mobilitas, seperti warga sipil yang terluka, cacat, dan lansia.
Cara kerja GHF disebut memaksa pengungsian lebih lanjut, mengekspos ribuan orang pada bahaya, membuat bantuan bersyarat pada tujuan politik dan militer, dan menetapkan preseden yang tidak dapat diterima untuk pengiriman bantuan di seluruh dunia.
Jan Egeland, Sekretaris Jenderal Dewan Pengungsi Norwegia dan mantan kepala kemanusiaan PBB, menggambarkan apa yang dilakukan GHF sebagai "militerisasi, privatisasi, dan politisasi".
"Orang-orang di baliknya adalah militer - mantan CIA, mantan petugas keamanan. Ada firma keamanan yang akan bekerja sama erat dengan salah satu pihak dalam konflik bersenjata, yaitu IDF," kata Egeland kepada BBC.
"Lembaga ini memiliki beberapa pusat distribusi, di mana orang-orang akan disaring sesuai dengan kebutuhan satu pihak dalam konflik inikepentingan Israel."
"Kita tidak dapat membiarkan pihak yang berkonflik memutuskan di mana, bagaimana, dan siapa yang akan mendapatkan bantuan," ujarnya.
Hamas telah memperingatkan warga Palestina agar tidak mengikuti sistem GHF. Alasannya, sistem GHF "menggantikan ketertiban dengan kekacauan, menegakkan kebijakan rekayasa kelaparan warga sipil Palestina, dan menggunakan makanan sebagai senjata selama masa perang".
Di tengah kritik dan sorotan kepada mereka, GHF justru menuduh Hamas juga membuat "ancaman pembunuhan" kepada kelompok bantuan bekerja di Situs Distribusi Aman GHF.
GHF menuduh Hamas berupaya memblokir warga Gaza agar tidak mengakses bantuan di tempat mereka.
Israel mengatakan bahwa alternatif dari sistem bantuan saat ini diperlukan untuk menghentikan Hamas mencuri bantuan -- tudingan yang dibantah oleh Hamas.
Seiring gelombang kritik terhadap GHF, pimpinan organisasi itu, Jake Wood, mengundurkan diri akhir Mei lalu.
Siapa Jake Wood dan mengapa dia mengundurkan diri?
Jake Wood adalah mantan marinir AS.
Sekitar Maret lalu, kata Wood, dia didekati untuk memimpin GHF. Pemicunya adalah "pengalamannya dalam operasi kemanusiaan".
Namun satu pekan lalu dia mengundurkan diri karena merasa tidak nyaman dengan rencana yang didukung Israel tersebut.
"Seperti banyak orang lain di seluruh dunia, saya merasa terusik dan patah hati dengan krisis kelaparan di Gaza," ujarnya.
"Sebagai seorang pemimpin lembaga kemanusiaan, saya terpaksa melakukan apa pun yang saya bisa untuk membantu meringankan penderitaan," kata Wood.
Walau begitu, Wood mengaku tetap bangga dengan apa yang dia lakukan di GHF, termasuk "mengembangkan rencana memberi makan orang-orang yang kelaparan, mengatasi masalah keamanan, dan melengkapi pekerjaan LSM yang telah lama ada di Gaza".
Namun pada pernyataannya, Wood juga menekankan "tidak mungkin melaksanakan rencana GHF sambil secara ketat mematuhi prinsip-prinsip seperti kemanusiaan, kenetralan, imparsialitas, dan independensi".
Sebagai tanggapan, GHF mengatakan bahwa mereka "tidak akan terhalang" oleh pengunduran diri Wood. Mereka akan mulai menyalurkan bantuan pada Senin (02/06), dengan target "satu juta warga Palestina dalam satu pekan".
GHF balas menuding para kritikus yang mereka sebut "lebih fokus menghancurkan keadaan daripada menyalurkan bantuan, karena takut solusi baru yang kreatif untuk masalah yang sulit diatasi mungkin benar-benar berhasil."
John Acree, mantan manajer senior di USAID, badan pemerintah AS yang bertanggung jawab untuk mengelola bantuan asing, telah ditunjuk sebagai direktur GHF.
Warga Palestina menerima bantuan dari pusat-pusat GHF pada akhir Mei (Getty Images)
Seberapa buruk situasi di lapangan?
Israel memberlakukan blokade total terhadap bantuan kemanusiaan ke Gaza pada 2 Maret lalu. Mereka juga melanjutkan serangan militer dua minggu setelahnya mengakhiri gencatan senjata selama dua bulan dengan Hamas.
Israel membuat klaim, langkah itu mereka ambil untuk menekan Hamas agar membebaskan 58 warga Israel yang masih ditawan di Gaza.
Pada 19 Mei, militer Israel melancarkan serangan secara lebih luas ke Gaza. Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu menyebut pasukannya akan mengambil alih semua wilayah Gaza.
Rencana tersebut mencakup pembersihan total wilayah utara dari warga sipil dan memindahkan mereka secara paksa ke Gaza selatan.
Sejak blokade pada Maret lalu, Israel membuat klaim telah mengizinkan sedikitnya 665 truk berisi bantuan kemanusiaan, termasuk tepung, makanan bayi, dan perlengkapan medis, masuk ke Gaza.
Namun, kepala Program Pangan Dunia PBB, menyebut bantuan tersebut hanya "setetes air dalam ember" untuk menolong warga Gaza dan membalikkan tingkat kelaparan yang parah.
Setengah juta warga Gaza diyakini akan menghadapi kelaparan dalam beberapa bulan mendatang, menurut penilaian oleh Klasifikasi Fase Keamanan Pangan Terpadu (IPC) yang didukung PBB.
(nvc/nvc)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini