Jakarta -
Pertanyaan para peneliti seakan meramalkan kegelapan. "Siapa atau apa yang masih bisa menyelamatkan perdamaian di dunia?" demikian pertanyaan yang diajukan ilmuwan dari empat lembaga riset di Jerman dalam Friedensgutachten 2025. Sejak 1987, mereka telah menganalisis konflik internasional dan memberikan rekomendasi politik. Namun, pesimisme yang dituangkan dalam laporan tahun ini merupakan sesuatu yang langka.
Perang di Ukraina, Gaza, Sudan, lebih dari 122 juta orang mengungsi, serta konflik kekerasan di berbagai belahan dunia, memperlihatkan betapa situasi global kian memburuk.
Christopher Daase dari Leibniz-Institut fr Friedens- und Konfliktforschung menyatakan, "Dalam beberapa tahun terakhir, fokus analisis kami adalah serangan Rusia ke Ukraina dan penghancuran tatanan perdamaian serta keamanan Eropa oleh Rusia." Kini, situasi keamanan semakin memburuk. "Amerika Serikat justru menambah ketidakpastian baru."
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kritik terhadap Trump
Salah satu sorotan utama dalam laporan tahun ini adalah perubahan politik di Amerika Serikat. Presiden AS Donald Trump dan gerakan MAGA-nya, menurut para peneliti, "dalam waktu singkat dan nyaris tanpa perlawanan" telah berhasil mengubah demokrasi tertua di dunia menjadi semacam rezim otoriter.
Di panggung global, pemerintahan baru AS juga dinilai telah meruntuhkan lembaga dan nilai-nilai liberal. "Para penguasa otoriter dan diktator dirangkul, sementara gerakan populis sayap kanan didukung di negara-negara demokratis."
Daase menyebutkan bahwa ada risiko "penularan ideologi otoriter" ke negara lain. Di Eropa, misalnya, sudah tampak gejala mengkhawatirkan, entah itu perlemahan lembaga hukum internasional, ancaman terhadap kebebasan akademik, serta intervensi terhadap otonomi lembaga masyarakat seperti gereja.
Matinya NATO?
Menurut laporan tersebut, persekutuan transatlantik antara Eropa dan AS "seperti yang kita kenal, sudah berakhir." Hal serupa juga berlaku untuk kerja sama militer. "Janji solidaritas NATO telah kehilangan kredibilitasnya," dan keakraban baru antara AS dan Rusia dikhawatirkan akan mengorbankan Ukraina dan kepentingan Eropa.
"Kita menghadapi kenyataan bahwa tanpa NATO, saat ini segalanya akan mandek. Karena itu, tidak ada yang berani membicarakan punahnya NATO, walaupun fondasi nilai-nilainya sudah lama runtuh," kata Daase.
Ketika ditanya apakah NATO sudah mati, dia enggan menyangkal. "Kita sedang mempersiapkan berakhirnya NATO," ujarnya. Menurutnya, Eropa masih bekerja sama dengan NATO selama memungkinkan, sembari memperkuat kemampuan pertahanan sendiri.
Eropa harus lebih kompak
Para peneliti mendesak pemerintah Jerman untuk membuat rencana yang transparan dan bertahap guna memperkuat serta mengintegrasikan struktur pertahanan Eropa. Hanya masalahnya, Uni Eropa dinilai masih jauh dari tujuan tersebut.
"Yang kita lihat sekarang bukan penguatan pertahanan bersama dalam kerangka politik UE, melainkan penguatan pertahanan nasional masing-masing negara anggota," jelas Ursula Schrder dari Institut Penelitian Perdamaian dan Kebijakan Keamanan Universitas Hamburg (IFSH).
Keamanan, lanjutnya, tidak boleh hanya dimaknai dalam pengertian militer. Menurut Conrad Schetter dari Bonn International Centre for Conflict Studies (BICC), arsitektur keamanan juga mencakup pengendalian senjata, upaya membangun kepercayaan, dan diplomasi. Kebijakan pembangunan yang efektif juga penting. Dia mengingatkan bahwa penguatan militer tidak boleh menjadi "blanko kosong" untuk mengekspor senjata ke seluruh dunia.
Desakan untuk stop suplai senjata ke Israel
Para peneliti juga mengaku prihatin terhadap melemahnya hukum internasional. Mereka mencatat meningkatnya "dehumanisasi dalam peperangan," seperti pelanggaran berat terhadap perlindungan warga sipil, serangan langsung terhadap rumah sakit dan sekolah, serta penyalahgunaan bantuan kemanusiaan untuk kepentingan politik.
Dampak paling brutal terlihat dalam perang Rusia di Ukraina dan konflik Israel-Hamas. Kritik terutama diarahkan terhadap perang di Gaza, yang telah menewaskan lebih dari 53.000 orang dan menghancurkan sebagian besar wilayah tersebut. Para peneliti menyerukan "dengan urgensi yang belum pernah ada sebelumnya" agar semua pengiriman senjata yang bisa digunakan di Gaza dan Tepi Barat dihentikan. Israel, menurut laporan itu, telah "melanggar hukum humaniter internasional secara mencolok" dan "melampaui batas hak pembelaan diri yang sah."
Antara Oktober 2023 dan Mei 2025, Jerman mengizinkan ekspor senjata senilai hampir 500 juta euro ke Israel. Hal ini diungkapkan pemerintah sebagai jawaban atas pertanyaan resmi dari fraksi Partai Kiri di Bundestag. Ekspor tersebut mencakup senjata api, amunisi, komponen senjata, peralatan khusus untuk angkatan darat dan laut, peralatan elektronik, serta kendaraan lapis baja khusus.
Menolak Netanyahu di Jerman
Laporan ini juga menyinggung pentingnya menghormati hukum internasional. Hal ini merespons pernyataan Kanselir Friedrich Merz, yang sebelumnya sempat menyatakan akan tetap mengundang Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu, meski ada surat perintah penangkapan dari Mahkamah Pidana Internasional (ICC).
Merz bahkan menawarkan "cara dan jalur" khusus agar Netanyahu bisa datang dan pergi dari Jerman tanpa ditangkap. Laporan Friedensgutachten 2025 menegaskan, "hukum internasional harus diutamakan di atas alasan kenegaraan." Oleh karena itu, "untuk saat ini, kunjungan resmi Netanyahu ke Jerman tidak dapat diterima."
Para peneliti juga mendesak Jerman agar dalam jangka menengah mendukung pengakuan negara Palestina. Menurut mereka, penyelesaian jangka panjang konflik Palestina "tidak mengurangi sedikit pun hak Israel atas keberadaan sebagai negara Yahudi dalam batas yang aman."
Artikel ini pertama kali terbit dalam Bahasa Jerman
Diadaptasi Oleh: Rizki Nugraha
Editor: Hendra Pasuhuk
(ita/ita)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini