RI Hat-trick Deflasi, Sri Mulyani Bantah Imbas Daya Beli Anjlok

2 days ago 14

Jakarta -

Indeks Harga Konsumen (IHK) mengalami deflasi 0,37% pada Mei 2025 secara bulanan (month to month/mtm), dan menjadi kali ketiga deflasi selama 2025. Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menegaskan daya beli masyarakat Indonesia tidak turun meskipun terjadi deflasi tiga kali sejak awal tahun ini.

Sri Mulyani menilai, bila dilihat dari komponen deflasi, tingkat inflasi inti atau core inflation masih berada di 2%. Badan Pusat Statistik (BPS) mengumumkan tingkat inflasi inti secara tahunan (year-on-year/yoy) 2,4% pada Mei 2025, menandakan terdapat kenaikan harga karena adanya permintaan.

"Melihat dari komponen deflasi dari BPS itu kalau inflasi intinya masih di sekitar 2% itu berarti ada kenaikan harga, karena ada permintaan. Karena core inflation adalah berasal dari kenaikan harga akibat daya beli atau permintaan," beber Sri Mulyani di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta Pusat, Senin (2/6/2025) kemarin.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Dia menekankan, deflasi terjadi bukan karena daya beli turun. Beberapa bulan lalu justru deflasi terjadi karena pemerintah menurunkan beberapa harga komoditas yang diatur atau administered price. Intervensi itu membuat harga turun.

Hal ini kemungkinan terjadi juga pada Juni dan Juli setelah pemerintah mengeluarkan lima paket insentif mulai dari diskon transportasi, diskon tarif tol, tambahan bansos, bantuan subsidi upah, hingga diskon JKK.

"Jadi bukan karena masyarakat daya belinya turun, karena pemerintah melalui administered price, pemerintah melalukan intervensi," tegas Sri Mulyani.

RI Deflasi

Sebelumnya, BPS mencatat Indonesia mengalami deflasi 0,37% secara bulanan pada Mei 2025. Deflasi ini menjadi deflasi ketiga sepanjang tahun setelah Januari (-0,76%) dan Februari (-0,48%).

Penurunan harga ini disebabkan terutama oleh turunnya harga komoditas hortikultura seperti cabai merah, cabai rawit, dan bawang merah.

Secara yoy, inflasi tercatat 1,60%, sementara secara tahun kalender (year to date/ytd) inflasi mencapai 1,19%. Dibanding Mei 2024, tingkat deflasi Mei 2025 tercatat lebih dalam.

Kelompok pengeluaran yang memberikan kontribusi deflasi paling besar adalah makanan, minuman, dan tembakau, yang mengalami deflasi 1,40% dan menyumbang andil -0,41%. Komoditas penyumbang deflasi terbesar adalah cabai merah dan cabai rawit, masing-masing memberikan andil -0,12%.

Selain itu, bawang merah menyumbang deflasi -0,09%, ikan segar sebesar -0,05%, bawang putih -0,04%, dan daging ayam ras -0,01%.

Deflasi Alarm Ekonomi RI

Di lain pihak, beberapa ekonom justru meminta pemerintah waspada dengan adanya deflasi. Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Bhima Yudhistira mengatakan deflasi ini menjadi alarm bahaya bagi ekonomi Indonesia. Pertumbuhan ekonomi kuartal II-2025 diproyeksi tidak sampai 5%.

Bhima menyebut deflasi berkepanjangan menandakan sebagian besar masyarakat menahan belanja. Hal ini membuat ekonomi ke depan lebih menantang.

"Ini bukan kesuksesan mengendalikan inflasi, tapi demand pull inflation-nya tidak bergerak naik. Artinya, penduduk besar, tapi sebagian besar tahan belanja. Konsumsi rumah tangga yang lambat artinya ekonomi ke depan lebih menantang," papar Bhima saat dihubungi detikcom.

Senior Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Tauhid Ahmad mengatakan akar dari permasalahan ini karena tidak banyaknya lapangan kerja tercipta. Alhasil, tidak ada peningkatan pendapatan masyarakat secara agregat, yang terjadi justru pemutusan hubungan kerja (PHK) meningkat.

"Karena banyak yang PHK, banyak masyarakat menahan pembelian dan kalau kita lihat mereka menggunakan tabungan untuk survival. Jadi menjadikan cadangan untuk membeli, tapi tidak dibelanjakan banyak-banyak," sebut Tauhid ketika dihubungi detikcom.

Tauhid menilai pemerintah harus bergerak cepat mengatasi permasalahan ini. Pasalnya jika tidak, kondisi akan semakin memperparah rakyat kecil.

"Harus ada upaya mengambil inisiatif untuk mengurangi efek dari global. Pertama diversifikasi negara tujuan ekspor, tujuan produk-produk yang diterima di luar pasar AS maupun negosiasi tarif agar dampak ke dalam negerinya bisa berkurang," kata Tauhid.

(hal/ara)

Read Entire Article
Koran | News | Luar negri | Bisnis Finansial