Review Film: Abadi Nan Jaya (The Elixir)

3 hours ago 2

img-title Endro Priherdityo

Terlepas dari kelemahan krusial dari aspek cerita, Abadi Nan Jaya patut dapat nilai cukup baik berkat tim artistik dan produksi di balik para zombi.

Jakarta, CNN Indonesia --

Bolehkah saya bilang bahwa sejauh ini 2025 adalah tahun yang menyenangkan untuk film Indonesia?

Setelah Pengepungan Di Bukit Duri yang menampar, Jumbo yang bersejarah dan fenomenal, Sore yang memikat banyak orang, kini Abadi Nan Jaya dari Kimo Stamboel sungguh membuat saya terkesan dengan progres industri film lokal.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Setelah Badarawuhi Di Desa Penari (2024) yang saya anggap jadi masa mendung bagi Kimo Stamboel, sutradara yang demen banget dengan adegan gore ini comeback dengan brutal dan membelalak mata lewat Abadi Nan Jaya.

Kimo bukan cuma jadi sutradara dalam film ini, tetapi juga sebagai penulis bersama Agasyah Karim dan Khalid Kashogi. Dari menonton selama nyaris dua jam, saya yakin mereka bertiga tak menyia-nyiakan modal dari Netflix untuk memproduksi film soal zombi di desa terpencil Jawa.

Abadi Nan Jaya alias The Elixir ini memang bukan film zombi pertama di Indonesia. Salah satu pendahulu yang saya ingat ada Reuni Z pada 2018. Bila dibandingkan, kedua film ini sungguh sangat kontras perbedaannya, mulai dari bujet dan daya produksi hingga penulisan naskah.

Saya juga tidak berminat membandingkan dua film itu. Tidak apple to apple. Hanya ada satu film yang ada di benak saya ketika melihat 15 menit pertama Abadi Nan Jaya, salah satu film zombi terbaik yang pernah ada: Train to Busan (2016).

Film Indonesia Abadi Nan Jaya atau The Elixir (2025). (Netflix/yu yu winnetou)Review Abadi Nan Jaya: Kimo Stamboel, sutradara yang demen banget dengan adegan gore ini comeback dengan brutal dan membelalak mata lewat Abadi Nan Jaya. (Netflix/yu yu winnetou)

Saya yakin Train to Busan (2016) punya bujet lebih besar dari The Elixir. Namun pengemasan cerita, suasana yang dibangun, konflik, hingga usaha para pemain dalam membangkitkan cerita antara dua film ini saya rasa punya kemiripan.

Disclaimer dulu, bagi saya Train to Busan (2016) masih jauh lebih baik. Namun saya sangat mengapresiasi tim kreatif dan produksi Abadi Nan Jaya yang sukses membuat karya yang bikin saya teringat dengan film Gong Yoo itu.

Buket bunga akan saya beri pertama kali untuk tim efek tata rias yang dipimpin Astrid Sambudiono, kemudian sinematografer Patrick Tashadian, pengarah seni Antonius Boedy, seluruh tim dan kru yang terlibat dalam set produksi, serta pengarah koreografi zombi dan para pemeran zombi.

Penampilan para zombi, gerakannya, set lokasi, pengaturan kamera dan pengambilan adegan, hingga bagaimana berbagai adegan gore ditampilkan, adalah sajian terbaik dari film ini. Saya bukan pencinta gore, tapi melihat adegan gore untuk para zombi di film ini sungguh tak bisa dilewatkan.

Astrid dan timnya sungguh sangat detail menyulap para pemeran zombi menjadi makhluk mengerikan. Bukan cuma masalah prostetik ditempelkan dan cairan darah menyembur ke mana-mana, atau zombi separuh badan yang ngesot dengan usus terburai, tapi hasil yang disajikan di layar oleh Astrid dan tim terlihat berasal dari proses penciptaan seni yang penuh dedikasi.

Patrick memberikan berbagai sajian pengambilan adegan yang menyegarkan bagi saya. Salah satunya saat saya kaget tiba-tiba disepak Marthino Lio, dan baru beberapa detik kemudian saya sadar Kimo dan Patrick menembus fourth wall yang jarang saya alami saat melihat film zombi.

Kepada pengarah seni Antonius Boedy dan para pengurus serta pemeran zombi, kalian gahar. Bahkan bila tim penulis menghasilkan naskah yang sangat menantang dan penuh intens, para zombi 'warlok' yang bersarung dan pakai seragam polisi ini adalah pelakon sesungguhnya yang menyajikan ketegangan itu.

Fajar Yuskemal yang mengurus musik Abadi Nan Jaya juga saya patut beri ucapan terima kasih. Saya sangat berterima kasih Fajar memberikan scoring yang pas, baik dari segi komposisi nada hingga volume suara. Fajar paham bahwa scoring adalah bumbu yang menguatkan cerita, bukan mengambil alih fokus penonton.

Setelah dimanjakan dengan produksi dan sajian karya seni rupa di depan saya, Abadi Nan Jaya memiliki catatan krusial, terutama untuk trio penulis: Kimo, Agasyah, dan Khalid.

Saya mengakui trio penulis sungguh menyajikan cerita yang unik, penuh ketegangan, hingga komposisi karakter yang benar-benar menguras emosi penonton. Kimo sebagai sutradara juga dengan baik memainkan alur cerita hingga mengarahkan bagaimana cerita itu terwujud dalam sajian visual.

Akan tetapi, saya punya keluhan soal cerita yang membuat saya lelah secara psikis ini, dan bukan dalam hal positif. Mulai dari nalar di balik jamu pembawa bala tersebut dan faktor ilmiah yang membuatnya jadi wabah, perilaku ganjil para zombi atas cuaca tertentu, hingga pilihan-pilihan tindakan para karakter dalam menghadapi serangan zombi tersebut yang --jujur saja-- mengesalkan.

Abadi Nan Jaya. (L to R) Marthino Lio, Mikha Tambayong in Abadi Nan Jaya. Cr. Courtesy of Netflix © 2025Review Abadi Nan Jaya: penalaran atau pembenaran atas kejadian wabah zombi dan bagaimana resolusi yang disampaikan Kimo Stamboel dalam film ini adalah hal yang kurang memuaskan. (Netflix/yu yu winnetou)

Pada saat inilah saya akan membandingkannya dengan Train to Busan (2016). Penulis Park Joo-suk dengan detail --tapi kasual-- menjelaskan bagaimana virus zombi muncul dan kemudian mewabah. Hal itu kemudian menjadi logika yang mudah dipahami oleh penonton dalam mengikuti momen demi momen Gong Yoo dikejar zombi sambil gendong bocah. Hal ini yang tidak saya dapatkan dari The Elixir.

Logika tersebut penting karena akan menjadi sebuah pembenaran atas situasi yang terjadi dalam cerita dan berbagai keputusan para karakternya, yang sayangnya kemudian menggantung dalam benak saya macam kantung semar punya Sadimin.

Di sisi lain, bukan berarti para pemain tampil buruk, bukan sama sekali. Mereka tampil dengan sangat baik. Mikha Tambayong, Eva Celia, Donny Damara, Marthino, Dimas Anggara, Ardit Erwandha, Calaresta Taufan, dan Varen Arianda Calief tampil sesuai porsinya masing-masing. Walaupun, saya agak geli melihat adegan Eva dengan Donny di ranjang.

[Gambas:Video CNN]

Namun kembali lagi, penalaran atau pembenaran atas kejadian wabah tersebut dan bagaimana resolusi yang disampaikan Kimo Stamboel dalam film ini adalah hal yang kurang memuaskan bagi saya.

Memang trio penulis terlihat sangat menekankan aspek drama keluarga, dan itu tersaji dengan cukup baik. Tetapi aspek ilmiah sebab-akibat yang lemah dalam film ini bagi saya jadi catatan terbesar dan membuat saya berat untuk yakin memberikan nilai tinggi. Kalau pun iya, faktor tim kreatif dan produksi adalah alasannya.

Meski begitu, Kimo Stamboel dan seluruh kru patut berbangga dengan film ini. Bagi saya, The Elixir meraih satu capaian lain yang mungkin akan menginspirasi film-film sejenis di masa mendatang, yang saya harap tentu jauh lebih baik sehingga film Indonesia bisa benar-benar Abadi Nan Jaya.

[Gambas:Youtube]

(end)

Read Entire Article
Koran | News | Luar negri | Bisnis Finansial