Refleksi Harkitnas: Bersiap Hadapi Tantangan Geopolitik Globa

2 weeks ago 21

Jakarta -

Indonesia bukan sekadar negara kepulauan, tetapi simpul strategis peradaban dunia. Sejak era kolonial, kekayaan alam dan posisi silang geografis kita membuat negeri ini jadi rebutan banyak kekuatan asing. Dari penjajahan Belanda hingga perebutan pengaruh global hari ini, ancaman itu belum benar-benar hilang.

Pidato Presiden Prabowo Subianto dalam Kongres IV PP Tidar (17/5/2025) mempertegas realitas tersebut. Ia menyatakan bahwa "Ada kekuatan besar yang tidak menginginkan Indonesia maju". Di tengah arus global yang makin deras, Indonesia hanya bisa bertahan jika seluruh komponen bangsanya bersatu padu dan waspada terhadap politik adu domba yang terus berulang dalam perjalanan sejarahnya.

Sejak zaman kolonial, Nusantara sudah dijadikan ladang adu domba. Politik divide et impera Belanda berhasil memecah belah antarsuku dan antarbangsawan, sehingga penjajahan bisa berlangsung selama lebih dari tiga abad. Sejarawan Ong Hok Ham (1999), dalam buku 'Runtuhnya Hindia Belanda', mencatat bahwa kekuasaan kolonial bertahan bukan karena kekuatan senjata semata, tapi karena kepiawaian menciptakan konflik internal.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Kini, bentuknya lebih canggih. melalui ekonomi, ideologi, hingga media sosial. Teori Dependency Andre Gunder Frank (1966) menyebut bahwa negara berkembang seperti Indonesia sering dijebak dalam ketergantungan struktural terhadap negara maju, baik lewat utang, teknologi, maupun dominasi pasar.

Presiden Prabowo juga menyentil satu hal penting, yakni kekuasaan di Indonesia kerap jadi rebutan, bukan alat perjuangan untuk rakyat. Ini selaras dengan Elite Theory dari Pareto dan Mosca (1935), yang menyebut bahwa elit politik sering kali lebih fokus menjaga posisi dan kepentingan kelompoknya ketimbang memperjuangkan masa depan bangsanya.

Ketika elit sibuk bertarung, celah itu dimanfaatkan kekuatan asing.
Tapi kenapa Indonesia jadi target? Letak geografis kita adalah jawabannya. Teori Heartland yang dikemukakan Halford Mackinder (1904), menjelaskan bahwa siapa yang menguasai kawasan strategis dunia akan menguasai dunia. Indonesia, sebagai jalur utama perdagangan global dan penghubung Samudra Hindia dan Pasifik, adalah wilayah krusial. Siapa pun yang ingin mengontrol geopolitik dunia tak akan pernah melepas pengaruhnya di sini.

Sebagai bangsa yang besar, Indonesia tidak boleh terpecah belah. Indonesia punya semua syarat untuk menjadi kekuatan besar dunia, dengan miliki sumber daya alam, bonus demografi, dan posisi strategis. Tapi semua itu bisa runtuh kalau kita tidak bersatu. Itulah kenapa semangat Kebangkitan Nasional yang diperingati setiap 20 Mei harus kembali kita hidupkan, bukan hanya sekadar seremoni sejarah.

Boedi Oetomo yang lahir pada 1908 menjadi simbol awal kesadaran kebangsaan. Generasi ini mengajarkan pentingnya persatuan lintas suku dan agama, serta kemajuan lewat pendidikan dan pengabdian. Mereka tidak membawa senjata, tapi membawa ide yang menyatukan. Nilai-nilai ini sangat relevan hari ini, ketika bangsa ini kembali diuji oleh polarisasi politik dan arus informasi yang memecah belah.

Di era digital, perpecahan bukan lagi lewat senjata, tapi lewat narasi. Hoaks, ujaran kebencian, dan propaganda identitas menyebar cepat, memecah belah rakyat. Kementerian Komunikasi Digital (Komdigi, 2025) mencatat bahwa sepanjang tahun 2024, terdapat 1.923 konten hoaks yang berhasil diidentifikasi dan diklarifikasi. Konten-konten ini didominasi oleh isu-isu politik, pemerintahan, dan kesehatan, yang menunjukkan betapa strategisnya isu-isu tersebut dalam memengaruhi persepsi publik. Inilah bentuk baru adu domba yang harus kita lawan dengan literasi, akal sehat, dan semangat kebangsaan.

Seruan Presiden Prabowo untuk tidak mau diadu domba harus jadi alarm nasional. Kita butuh kebangkitan nasional gelombang kedua, kebangkitan yang bukan lagi melawan penjajah fisik, tapi melawan penjajahan ekonomi, ideologi, dan teknologi. Indonesia harus jadi tuan rumah di negeri sendiri. Waktunya hentikan pertikaian akibat beda pilihan politik, suku, atau agama. Semua anak bangsa punya peran. Persatuan adalah syarat utama agar kita tak lagi jadi objek permainan geopolitik. Sebab, kekuatan besar akan terus berusaha mengendalikan kita selama kita belum bersatu.

Kita punya potensi luar biasa. Tapi itu semua baru bisa bermakna kalau kita bersatu. Mari buktikan bahwa bangsa ini tak mudah dipecah, tak bisa diadu domba, dan tak sudi dikendalikan oleh siapa pun. Inilah saatnya Indonesia bangkit, kuat, berdaulat, dan disegani dunia.

Penulis adalah Dosen Geografi Politik Unisma dan Direktur Eksekutif Human Studies Institute (HSI).

(jat/jat)

Loading...

Hoegeng Awards 2025

Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini

Read Entire Article
Koran | News | Luar negri | Bisnis Finansial