Pertumbuhan Ekonomi Katanya Stabil, Cari Kerja Kok Sulit?

3 hours ago 2

Jakarta, CNN Indonesia --

Pertumbuhan ekonomi Indonesia yang stabil di kisaran 5 persen dalam beberapa tahun terakhir, bahkan pada kuartal II-2025 yang berhasil tumbuh 5,12 persen, ternyata tidak cukup menciptakan lapangan kerja baru.

Di tengah laporan geliat investasi yang dilaporkan oleh Kementerian Investasi mencapai Rp477,7 triliun pada kuartal II tahun ini, jutaan warga dalam negeri masih kesulitan mendapatkan pekerjaan yang layak dan berpenghasilan tetap.

Hal ini tercermin dari laporan terbaru Bank Dunia 'World Bank East Asia and The Pacific Economic Update October 2025: Jobs' yang menyatakan kondisi anak muda di Indonesia saat ini susah untuk mendapatkan pekerjaan.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Sebagian besar orang di kawasan EAP yang mencari pekerjaan mendapatkannya. Tingkat penyerapan tenaga kerja tinggi, tapi kaum muda sulit mendapatkan pekerjaan. Satu dari tujuh anak muda di China dan Indonesia menganggur," ungkap Bank Dunia dalam laporan tersebut.

Analis Senior Indonesia Strategic and Economic Action Institution Ronny P Sasmita menilai kondisi ini mencerminkan fenomena jobless growth atau pertumbuhan ekonomi tanpa penciptaan lapangan kerja yang memadai.

Ronny menyebut paradoks ini sebagai sinyal bahaya bagi masa depan ekonomi Indonesia, terutama bagi kelompok usia produktif yang kini mendominasi populasi.

"Memang terdapat paradoks yang cukup mengkhawatirkan pada pertumbuhan ekonomi kita, yakni pertumbuhan ekonomi yang tidak sebanding dengan penciptaan lapangan kerja. Fenomena inilah yang oleh banyak ekonom disebut sebagai jobless growth, pertumbuhan tanpa pekerjaan," kata Ronny kepada CNNIndonesia.com.

Menurutnya, sekitar 30 hingga 35 persen angkatan kerja Indonesia termasuk dalam kategori rentan, yakni bekerja tanpa upah, berusaha sendiri, atau berada di sektor informal tanpa perlindungan sosial. Hingga 2024, proporsi pekerja informal masih di atas 58 persen, angka yang nyaris tidak berubah dalam sepuluh tahun terakhir.

"Artinya, sebagian besar warga bekerja, tetapi tanpa jaminan sosial, kepastian pendapatan, atau akses ke pekerjaan yang layak," imbuhnya.

Sementara itu, sektor industri manufaktur yang selama ini menjadi tulang punggung penciptaan lapangan kerja padat karya justru terus melemah. Porsi tenaga kerja di sektor ini turun dari sekitar 15 persen pada 2012 menjadi hanya 13 persen pada 2023.

Sementara, sektor jasa tumbuh cepat, namun sebagian besar berupa pekerjaan berproduktivitas rendah seperti perdagangan kecil dan jasa pribadi. Ronny menyebut fenomena ini sebagai tanda premature tertiarization.

" Pergeseran ini menggambarkan sinyal-sinyal premature tertiarization, ekonomi bergeser ke sektor jasa sebelum industrialisasi mencapai kematangan," katanya.

Dalam kondisi seperti ini, lanjut Ronny akan berpengaruh pada produktivitas nasional yang sulit meningkat karena sebagian besar pekerjaan yang tercipta tidak memiliki nilai tambah tinggi.

"Kondisi ini mencerminkan apa yang oleh para ekonom disebut sebagai premature deindustrialisation, negara yang kehilangan basis manufakturnya terlalu cepat sebelum mencapai level pendapatan tinggi. Indonesia tampaknya menuju arah tersebut," jelasnya.

Masalah lain yang memperburuk situasi adalah ketimpangan pendapatan yang semakin melebar. Upah pekerja menengah cenderung stagnan, sementara kelompok profesional dan manajerial menikmati kenaikan pendapatan lebih tinggi, menciptakan kesenjangan sosial dan ekonomi yang kian tajam.

Ronny menilai akar dari masalah ini bersifat struktural karena arah kebijakan ekonomi Indonesia selama satu dekade terakhir terlalu menekankan stabilitas makro. Pemerintah fokus menjaga defisit anggaran di bawah 3 persen PDB dan inflasi rendah, tetapi kurang memberi ruang bagi ekspansi fiskal untuk investasi publik dan penciptaan kerja.

"Dalam hemat saya, akar masalahnya juga bersifat struktural. Selama satu dekade terakhir, arah kebijakan ekonomi Indonesia cenderung konservatif, lebih menekankan stabilitas makro daripada penciptaan lapangan kerja," terangnya.

Di saat yang sama, kemajuan teknologi dan otomasi memperdalam dilema pasar kerja. Banyak perusahaan menggantikan pekerja berupah rendah dengan mesin dan sistem digital, sementara kebijakan pelatihan ulang tenaga kerja belum berjalan optimal sehingga menimbulkan risiko jebakan teknologi.

Jika tren ini terus berlanjut, Indonesia bisa kehilangan momentum bonus demografi yang diperkirakan mencapai puncaknya pada 2035.

Generasi muda akan semakin sulit mendapatkan pekerjaan formal dan berpotensi terjebak di sektor informal atau ekonomi digital yang tanpa jaminan sosial, memperkuat kondisi jobless growth di tengah ekonomi yang tumbuh tinggi.

"Fenomena ini sudah terlihat pada maraknya pekerja platform seperti pengemudi daring, kurir, dan pekerja lepas yang berada di wilayah abu-abu antara kemandirian dan eksploitasi," jelasnya.

Deindustrialisasi Dini Biang Pengangguran Muda 

Sementara itu, Peneliti dari Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Yusuf Rendy Manilet menilai fenomena deindustrialisasi dini menjadi salah satu penyebab utama tingginya pengangguran usia muda.

"Dalam satu dekade terakhir, sektor industri kehilangan kemampuan menyerap tenaga kerja dalam jumlah besar, padahal industri adalah motor utama penciptaan kerja," ujarnya.

Rendy menjelaskan, sebagian besar angkatan kerja Indonesia masih didominasi lulusan pendidikan menengah ke bawah yang cocok untuk bekerja di industri padat karya. Ironisnya, justru sektor manufaktur seperti tekstil, garmen, dan alas kaki yang mengalami perlambatan.

Bahkan, Rendy menilai kebijakan hilirisasi pertambangan yang digadang-gadang sebagai pendorong lapangan kerja belum memberi efek signifikan terhadap penyerapan tenaga kerja muda.

"Lapangan kerja dari hilirisasi tambang memang ada, tetapi skalanya jauh lebih kecil dibandingkan industri manufaktur padat karya," jelasnya.

Akibatnya, banyak tenaga kerja muda yang tidak terserap di pasar kerja formal dan akhirnya menganggur atau masuk ke sektor informal. Kondisi ini, kata Rendy, memperburuk ketimpangan dan menurunkan produktivitas nasional.

Selain masalah sektor industri, mismatch keterampilan juga dinilai menjadi faktor penting penyebab pengangguran muda.

"Banyak pencari kerja muda belum memiliki keterampilan sesuai kebutuhan industri, sehingga meski lowongan ada, mereka tetap sulit terserap," ungkapnya.

Kendati, Rendy mengapresiasi program Kartu Prakerja yang digagas pemerintah sebagai langkah positif untuk peningkatan kompetensi tenaga kerja. Namun, ia menekankan bahwa pelatihan tanpa penciptaan lapangan kerja baru tetap tidak akan menyelesaikan akar persoalan pengangguran muda.

"Program pelatihan perlu diimbangi dengan strategi industrialisasi yang kuat. Kalau tidak, peserta pelatihan akan tetap kesulitan mendapatkan pekerjaan karena sektor penyerapnya melemah," katanya.

Untuk itu, ia merekomendasikan dua arah kebijakan utama yakni mempercepat reindustrialisasi dan memperkuat pendidikan serta pelatihan vokasi.

"Pemerintah perlu menghidupkan kembali industri padat karya sambil memastikan tenaga kerja muda dibekali keterampilan relevan dengan kebutuhan pasar," tutur Rendy.

Dalam jangka panjang, Rendy menilai penguatan kemampuan di bidang STEM (Science, Technology, Engineering, and Mathematics) menjadi kunci daya saing tenaga kerja muda Indonesia.

"Kalau SDM kita tidak adaptif terhadap transformasi digital dan ekonomi berbasis inovasi, bonus demografi yang kita miliki bisa berubah menjadi beban," pungkasnya.

[Gambas:Video CNN]

(sfr)

Read Entire Article
Koran | News | Luar negri | Bisnis Finansial