Jakarta -
Mahkamah Konstitusi melalui putusannya Nomor: 135/PUU-XXII/2024 telah menegasikan keberlakuan Pemilu serentak dan menjadikannya terpisah. Keterpisahan itu menunjuk pada Pemilu DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten/Kota, dan Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati, dan Walikota/Wakil Walikota dengan Pemilu DPR, DPD, dan Presiden/Wakil Presiden.
Konsekuensi pelaksanaan pemisahan kedua Pemilu itu adanya jeda waktu 2 sampai 2,5 tahun. Pemilu yang pada awalnya tidak memisahkan antara pusat (nasional) dan daerah (lokal) kini dipisahkan dengan adanya putusan tersebut, telah menimbulkan masalah yuridis serius, dan itu menunjuk pada norma dasar. Konstitusi telah dengan jelas dan tegas menyebutkan bahwa Pemilu diselenggarakan setiap 5 tahun sekali.
Diketahui bahwa ketentuan yang diuji konstitusionalitasnya oleh Pemohon menunjuk pada frasa "secara serentak" sebagaimana disebutkan dalam Pasal 167 ayat (3), Pasal 347 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU 7 Tahun 2017) dan Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang (UU 8 Tahun 2015).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pemohon dalam permohonannya menyatakan Pemilu yang paling konstitusional adalah Pemilu serentak nasional dan Pemilu serentak daerah. Terlepas dari pengujian terhadap ketentuan a quo yang sudah tiga kali diajukan kepada Mahkamah, yakni melalui perkara Nomor 16/PUU-XIX/2021, Nomor 55/PUU-XVII/2019, dan Nomor 37/PUU-XIX/2019, namun menjadi pertanyaan serius, apakah frasa "secara serentak" itu dimaksudkan setelah melewati masa 5 tahun.
Selanjutnya, apakah dengan terlewatinya batas 5 tahun itu dapat dibenarkan secara konstitusional? Tentunya, Pemilu yang dilaksanakan atau diselenggarakan secara serentak setiap 5 tahun sekali adalah dimaksudkan tidak melewati masa 5 tahun. Dengan demikian, penyelenggaraan Pemilu
secara serentak untuk tingkat nasional dan lokal yang terpisah dan telah melewati masa 5 tahun justru bertentangan dengan Pasal 22E ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) yang menyebutkan, "Pemilihan umum dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali".
Mahkamah dalam pertimbangannya menyatakan, "pemaknaan Mahkamah tidak sebagaimana yang dimohonkan oleh Pemohon", namun dalam amar putusannya ternyata sebangun dengan dalil Pemohon yang menginginkan pemisahan Pemilu serentak nasional dan Pemilu serentak daerah. Di sini terlihat Mahkamah tidak konsekuen dengan menerima dan kemudian memutus perkara a quo. Pasal 60 ayat (2) UU Mahkamah Konstitusi telah menentukan bahwa, "Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dikecualikan jika materi muatan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang dijadikan dasar pengujian berbeda." Pasal 22E ayat (1) UUD 1945 dengan norma "lima tahun sekali" yang
menjadi dasar konstitusional permohonan Pemohon adalah juga menjadi dasar konstitusional pada Perkara Nomor 55/PUUXVII/2019 dan Perkara Nomor 37/PUUXVII/2019.
Adapun yang lainnya sebagai aksesoris belaka. Jadi, sebenarnya tidak ada perbedaan yang mendasar antara permohonan Pemohon dengan permohonan
sebelumnya itu. Masing-masingnya menunjuk pada obyek perkara dengan frasa "lima tahun sekali". Hal inilah yang kemudian dikaitkan oleh Pemohon bahwa format keserentakkan Pemilu yang konstitusional dengan melakukan pemisahan Pemilu serentak daerah dari Pemilu serentak nasional yang telah melewati masa 5 tahun. Kemudian, norma "lima tahun sekali" disimpangi oleh Mahkamah.
Dalil-dalil Pemohon yang demikian minimalis itu ternyata telah mampu 'menyihir' Mahkamah Konstitusi, sungguh luar biasa!
Pernyataan Mahkamah dalam pertimbangannya, yang menyebutkan, ".....telah ternyata terdapat perbedaan dasar pengujian permohonan a quo, yaitu dengan menggunakan Pasal 18 ayat (4), Pasal 22E ayat (5), dan Pasal 27 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945, yang tidak dijadikan sebagai dasar pengujian Perkara Nomor 37/PUU- XVII/2019, Perkara Nomor 55/PUU-XVll/2019, Perkara Nomor 16/PUU-XIX/2021 dan Perkara Nomor 35/PUUXX/2022, telah cukup bagi Mahkamah untuk menyatakan permohonan Pemohon untuk menguji norma Pasal 167 ayat (3), dan Pasal 347 ayat (1) UU 7/2017 serta Pasal 3 ayat (1) UU 8/2015 tidak terhalang oleh keberlakuan Pasal 60 UU MK dan Pasal 78 PMK 2/2021", lagi-lagi ini dipertanyakan! Bukankah pokok persoalan menunjuk pada Pasal 22E ayat (1) UUD 1945 dengan norma "lima tahun sekali", dan itu terhubung dengan amar putusan Mahkamah yang memisahkan Pemilu DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten/Kota, dan Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati, dan Walikota/Wakil Walikota dengan Pemilu DPR, DPD, dan Presiden/Wakil Presiden.
Perlu ditegaskan bahwa pasal-pasal yang dimohonkan uji materiil tersebut merupakan kebijakan hukum terbuka (open legal policy). Demikian itu merupakan kewenangan pembentuk Undang-Undang. Suatu norma dalam Undang-Undang yang merupakan kebijakan hukum terbuka tidak dapat dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi. Suatu norma Undang-Undang yang termasuk dalam kategori kebijakan hukum terbuka, maka norma tersebut berada di wilayah yang bernilai konstitusional.
Dengan kata lain bersesuaian dengan UUD 1945. Penulis kutip Putusan Mahkamah Konstitusi, Nomor 51-52-59/PUU-VI/2008, sebagai berikut:
"Mahkamah dalam fungsinya sebagai pengawal konstitusi tidak mungkin untuk membatalkan Undang-Undang atau sebagian isinya, jikalau norma tersebut merupakan delegasi kewenangan terbuka yang dapat ditentukan sebagai legal policy oleh pembentuk Undang-Undang" (garis bawah dari penulis).
Sungguh disayangkan Mahkamah telah berseberangan dengan pendapatnya sendiri dan terperangkap menjadi positive legislature. Di sisi lain, dalil Pemohon ternyata bukanlah menyangkut konstitusionalitas norma, melainkan implementasi norma.
Tentu berbeda antara validitas norma dengan bekerjanya hukum. Demikian itu seharusnya bukan menjadi yurisdiksi Mahkamah. Menjadi pertanyaan, mengapa permohonan tersebut diterima oleh Mahkamah Konstitusi?
Patut dipertanyakan dalil Pemohon, dalam permohonannya disebutkan "menyampaikan argumentasi empirik berdasarkan dua kali penyelenggaraan pemilu serentak lima kotak, yakni pada tahun 2019 dan tahun 2024, yang telah terbukti melemahkan derajat dan kualitas kedaulatan rakyat, melemahkan pelembagaan partai politik, serta merugikan pemilih untuk mendapatkan suatu penyelenggaraan pemilu yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil berdasarkan ketentuan Pasal 22E ayat (1) UUD NRI 1945", apakah dalil ini terkait langsung dengan adanya kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon.
Kerugian itu apakah ada hubungan sebab akibat (causal verband) dengan dengan norma Undang-Undang yang dimohonkan pengujian? Kemudian, apakah ada jaminan dengan dikabulkannya permohonan (in casu Putusan MK Nomor 135/PUU-XXII/2024), maka kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi?
Terlepas dari final dan mengikatnya putusan Mahkamah, jika seandainya nanti yang terjadi adalah justru lebih menimbulkan dampak kemudaratan yang lebih besar bagaimana penyelesaian konstitusionalnya? Dalil Pemohon yang dibenarkan oleh Mahkamah yakni ketiadaan perbaikan atas jadwal keserentakan Pemilu sebagaimana dimaksudkan dalam Putusan Nomor 55/PUU-XVII/2019 yang menyebabkan masih terjadinya kerugian hak konstitusional Pemohon, apakah itu sebanding dengan dampak buruk yang ditimbulkan akibat pemisahan Pemilu nasional dan lokal?
Upaya Pemohon dalam uji materiil guna menghasilkan konsepsi agenda penyelenggaran pemilihan umum yang mengarah pada penguatan demokrasi, meningkatkan derajat dan kualitas kedaulatan rakyat, penguatan pelembagaan partai politik dan efektivitas sistem kepartaian, serta sesuai dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 55/PUU-4XVII/2019, apakah dengan semudah itu diamini oleh Mahkamah? Sungguh membingungkan dan memilukan!
Sejatinya, penyatuan Pemilu lokal dan nasional dalam satu waktu merupakan bagian dari "aturan hukum yang mengikuti". Dimana "hukum yang diikuti" adalah Pasal 22E (1) UUD 1945. Di sini yang paling menentukan adalah kemanfaatan umum yang menunjuk pada konstitusi, yakni terwujudnya Pemilu setiap 5 tahun sekali.
Demikian itu sudah jelas, dan oleh karenanya tidak lagi memerlukan penjelasan apalagi merubah maknanya menjadi lebih dari lima tahun. Sejalan dengan hal ini, menurut Ronald Dworkin bahwa maksim hukum itu tidak bersandar pada aturan-aturan (rules) saja, tetapi juga prinsip-prinsip (principles). Prinsip-prinsip merupakan bagian dari hukum. Prinsip-prinsip, menurutnya memiliki dimensi kadar. Dengan demikian, jika
prinsip-prinsip bertentangan, maka metode yang tepat untuk memecahkan suatu masalah adalah dengan memilih prinsip yang memiliki kadar yang lebih kuat dan mengabaikan prinsip yang kadarnya lemah.
Terkait dengan perkara a quo, prinsip-prinsip yang memiliki kadar yang lebih kuat itu bukanlah tawaran Pemohon tentang format keserentakan Pemilu yang dipisah dan dikabulkan Mahkamah. Pemilu serentak setiap 5 tahun sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 22E (1) UUD 1945 adalah prinsip, bukan kadarnya lebih kuat dari dalil Pemohon dan putusan Mahkamah Konstitusi, namun memang dari awalnya tidak ada yang dapat menandinginya.
Lebih lanjut, adanya usulan untuk dilakukan upaya rekayasa konstitusional (constitutional engineering) atas putusan tersebut, adalah pendapat pembenaran dan
demikian kering argumen yuridis-teoretis. Patut dicatat, rekayasa konstitusional jika semata-mata hanya mengikuti putusan a quo, yang notabene adalah persoalan implementasi norma, menurut penulis hal itu tidak tepat dan tidak pada tempatnya.
Keadilan adalah "menempatkan sesuatu sesuai pada tempatnya". Disini pembebanan sesuatu sesuai kemampuan dan memberikan sesuatu yang memang menjadi haknya sesuai dengan kadar yang seimbang (proporsional). Pembagian proporsi yang sama diberikan kepada orang-orang yang sama, sebaliknya orang yang tidak sama tentu akan mendapatkan pembagian yang berbeda, sehingga semua orang diberlakukan sama untuk hal yang sama dan diperlakukan berbeda untuk hal yang berbeda.
Dengan demikian yang menjadi tolok ukur keadilan adalah unsur proporsionalnya. Pemilu serentak dan tidak terpisah sudah proporsional dan memiliki validitas dari norma dasar. Pemisahan Pemilu itu adalah bentuk "membedakan dua hal yang sama". Pembedaan atas dua hal yang sama merupakan bentuk ketidakadilan dan sekaligus ketidakbenaran.
Pemilu serentak dan tidak terpisah dalam masa 5 tahun itu merupakan penyempurna bagi terwujudnya kedaulatan rakyat dan aksiologi hukum konstitusi "kepastian hukum yang adil". Bagaimana kita dapat melakukan rekayasa menambah masa jabatan yang melebihi batas sebagaimana ditentukan dalam konstitusi dalam rangka implementasi putusan Mahkamah Konstitusi tersebut.
Masa 5 tahun sebagai batas waktu itu sejalan dengan kaidah, "ma laa yatimmul wajib illa bihii fa huwa wajib" (perkara yang menjadi penyempurna dari perkara wajib, hukumnya juga wajib).
Maksudnya, segala perkara yang menjadikan suatu perbuatan kewajiban tidak dapat dikerjakan sama sekali atau bisa dikerjakan, namun tidak sempurna kecuali dengan juga mengerjakan perkara tersebut, maka perkara tersebut yang asalnya tidak wajib, dihukumi wajib pula. Jadi, tidak mungkin kedaulatan rakyat dan aksiologi hukum konstitusi dapat diwujudkan tanpa adanya batas waktu yang telah ditentukan. Oleh karenanya masa 5 tahun itu menjadi wajib pula dilaksanakan dan tanpa ada pengecualian apa pun alasannya.
Perlu diingat, bahwa hukum sejatinya harus mengedepankan kemanfaatan. Kemanfaatan selalu dikaitkan dengan teori utilitarianisme Jeremy Bentham. Bentham mengemukakan, "the greatest happiness of the greatest number". Prinsip kegunaan ini menjadi norma untuk menilai pembentukan hukum.
Dengan demikian, Undang-Undang yang banyak memberikan kebahagiaan pada bagian terbesar masyarakat akan dinilai sebagai Undang-Undang yang baik. Karena itu tugas hukum (utilitas) adalah memelihara kegunaan. Sebagai perbandingan, kemanfaatan dalam ajaran Islam mencakup kemanfaatan umum dan kemanfaatan khusus.
Dalam kaitan itu terdapat kaidah, "al-maslahah al-'amah muqaddamatun 'ala al-maslahah al-khassah". Maksudnya, jika terjadi pertentangan antara keduanya, maka kemanfaatan umum yang harus didahulukan. Ini yang disebut dalam literatur Islam sebagai tatbiq dan dapat dipersamakan dengan keadilan distributif. Keadilan distributif merupakan konsep keadilan secara proporsional. Kemanfaatan umum itu adalah menunjuk pada norma dasar konstitusi bukan putusan Mahkamah Konstitusi yang mengabulkan tuntutan Pemohon.
Perlu diperhatikan bahwa konsekuensi pemisahan kedua Pemilu itu dengan adanya jeda waktu 2 sampai 2,5 tahun akan memberikan dampak mudarat yang demikian besar, ketimbang maslahat yang diinginkan. Terdapat kaidah yang menyebutkan "dar'u al mafasid muqaddam 'ala jalbi al mashalih", yang artinya menolak atau menghindari mudarat harus didahulukan daripada menarik maslahat.
Imam Suyuthi mengemukakan, semua produk hukum dikembalikan kepada ketentuan manfaat dan menghindari kerugian. Dengan demikian, apabila ada produk hukum yang berkurang atau hilang kemanfaatannya dan justru menimbulkan kerugian, maka produk
hukum tersebut harus ditinjau kembali. Kita semua memahami bahwa ketentuan dalam Pasal 22E (1) UUD 1945 itu tidak bisa diubah dengan Putusan Mahkamah.
Tafsir Mahkamah terhadap konstitusionalitas pasal-pasal dalam Undang-Undang yang diuji benar-benar telah menjadikan tafsir tunggal, bukan terhadap Undang-Undang melainkan menunjuk pada UUD 1945. Dengan kata lain, Mahkamah telah merubah norma UUD 1945. Dengan demikian
putusan a quo merupakan bentuk pembangkangan terhadap konstitusi.
Tidaklah berlebihan jika dikatakan bahwa keberadaan Mahkamah Konstitusi yang semula diharapkan sebagai pelindung konstitusi (the guardian of the constitution), kini telah menjelma menjadi pembangkang konstitusi. Kondisi demikian memerlukan koreksi.
Koreksi dimaksud merupakan wujud dari keadilan korektif. Dalam konsep keadilan korektif, keadilan menjadi jalan tengah antara kehilangan dan tambahan. Tindakan adil merupakan jalan tengah di antara bertindak tidak adil dengan menderita ketidakadilan.
Keadilan korektif adalah keadilan yang bertujuan untuk mengoreksi kejadian yang tidak adil. Dalam kaitan ini, menurut penulis, perlu dilakukannya amandemen kelima terhadap UUD 195 secara terbatas hanya terhadap Pasal 22E ayat (2) saja. Dengan demikian rumusan Pasal 22E ayat (2) menjadi, "Pemilihan umum diselenggarakan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan Kepala Daerah yang dilakukan secara serentak dan tidak terpisah".
Assc Prof. Dr. H. Abdul Chair Ramadhan, S.H., M.H.
(Ahli Teori Hukum)
(zap/zap)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini