Jakarta, CNN Indonesia --
Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa memastikan posisi utang pemerintah yang kini mencapai Rp9.138 triliun masih aman dan terkendali.
Ia menegaskan pengelolaan utang tetap dilakukan secara hati-hati dengan komitmen memperkuat efisiensi belanja negara agar pembiayaan tidak bergantung pada pinjaman baru.
Menurut Purbaya, ukuran keamanan utang tidak bisa dilihat dari besarnya nominal, melainkan dibandingkan dengan kekuatan ekonomi nasional. Saat ini, rasio utang Indonesia terhadap produk domestik bruto (PDB) masih di bawah 39 persen, jauh di bawah batas risiko internasional.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Negara-negara seperti Amerika Serikat (AS), Jepang, bahkan Singapura memiliki rasio utang yang jauh lebih tinggi, namun tetap dianggap sehat secara fiskal.
"Kan kalau acuan utang bahaya besar apa enggak, itu bukan dilihat dari nominalnya saja, tapi diperbandingkan dengan ekonominya," kata Purbaya via Zoom saat mengisi Media Gathering Kemenkeu 2025 di Novotel Bogor, Jawa Barat, Jumat (10/10).
Ia mencontohkan beban utang seharusnya dilihat seperti perbandingan antara penghasilan dan kewajiban seseorang, bukan sekadar jumlah absolut. Dengan rasio yang masih di bawah 40 persen, Indonesia disebut berada di posisi aman.
Karena itu, Purbaya meminta agar isu utang tidak dijadikan alat menciptakan persepsi negatif terhadap ekonomi nasional.
"Ini kan Rp9.000 triliun itu sekarang masih di bawah 39 persen dari PDB kan, jadi dari standar ukuran internasional itu masih aman," ujarnya.
"Bayarnya gampang, saya enggak bisa bayar mungkin atau susah membayar utangnya. Jadi acuannya bukan nilai absolut nominal saja, tapi dibandingkan dengan rasio ekonominya. Kita aman, masih di bawah 40, berarti kan 60 persen," tambah Purbaya.
Pemerintah, katanya, justru terus menjaga prinsip kehati-hatian dalam pengelolaan pembiayaan agar tetap sesuai dengan kapasitas fiskal negara.
Kendati demikian, Purbaya menyadari pentingnya mengendalikan penerbitan utang baru di tengah kebutuhan pembangunan yang tinggi.
Pemerintah akan berupaya menekan penambahan utang dengan memperbaiki kualitas belanja negara. Setiap rupiah hasil pembiayaan akan diarahkan untuk kegiatan produktif yang bisa mendorong pertumbuhan ekonomi dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Ia juga berjanji melakukan evaluasi terhadap struktur pengeluaran negara agar lebih efisien.
"Ke depan kita akan cepat coba kontrol belanja pemerintah supaya lebih baik, sehingga yang enggak perlu-perlu saya bisa mulai potong," ujarnya.
Langkah itu, kata dia, bukan berarti memangkas program penting, melainkan menertibkan kegiatan yang tidak efisien dan berpotensi memboroskan uang negara.
"Bukan berarti saya memotong program pemerintah, tapi saya memotong program-program yang tidak efisien, yang hanya memboroskan uang negara yang sebagian tadi diperoleh dari utang. Jadi akan kita menciptakan belanja yang lebih bertanggung jawab ke depan," tuturnya lebih lanjut.
Kementerian Keuangan mencatat posisi utang pemerintah per Juni 2025 mencapai Rp9.138 triliun. Angka itu terdiri dari pinjaman sebesar Rp1.157 triliun dan surat berharga negara (SBN) Rp7.980 triliun.
Jika dibandingkan dengan Mei 2025 yang mencapai Rp9.177 triliun, beban utang turun tipis, namun masih meningkat dari akhir 2024 sebesar Rp8.813 triliun.
Direktur Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kemenkeu Suminto menjelaskan rasio utang terhadap PDB Indonesia saat ini berada di level 39,86 persen, tergolong rendah dibandingkan banyak negara lain. Ia menyebut Malaysia memiliki rasio 61,9 persen, Filipina 62 persen, Thailand 62,8 persen, India 84,3 persen, dan Argentina 116,7 persen.
Menurut Suminto, posisi tersebut menunjukkan Indonesia masih berada pada zona aman dan moderat. Namun, ia mengingatkan bahwa utang tetap harus dikelola dengan hati-hati karena bersumber dari pajak yang akan dibayar oleh generasi berikutnya.
"Utang ini sebenarnya future tax. Artinya, kewajiban yang akan dipenuhi di masa depan oleh generasi yang akan datang. Sehingga kita betul-betul melakukan utang secara hati-hati, terukur, dan dalam batas kemampuan membayar kembali di masa depan," katanya.
(del/pta)