Menkes Minta MK Tolak Seluruh Gugatan PB IDI Terkait UU Kesehatan

1 day ago 12

Jakarta -

Menteri Kesehatan (Menkes) Budi Gunadi Sadikin meminta Mahkamah Konstitusi (MK) menolak seluruh gugatan Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI). Menkes meminta MK menyatakan PB IDI tidak memiliki kedudukan hukum untuk melayangkan gugatan mengenai UU Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan.

Hal ini diungkapkan Budi ketika menyampaikan keterangan pemerintah berkaitan gugatan nomor 182/PUU/XXII/2024 yang dilayangkan PB IDI, Selasa (3/6/2025). Dalam sidang ini, Budi membantah satu persatu dalil permohonan PB IDI.

"Pemerintah memohon Yang Mulia Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi, yang memeriksa, mengadili, dan memutus permohonan pengujian dapat memberikan putusan sebagai berikut; Menerima keterangan Presiden secara keseluruhan, menyatakan bahwa para pemohon tidak punya kedudukan hukum," ujar Budi dalam sidang.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Menolak permohonan para pemohon untuk seluruhnya atau setidak-tidaknya menyatakan permohonan pemohon tidak dapat diterima," sambungnya.

Budi juga meminta hakim konstitusi menyatakan seluruh pasal yang didalilkan IDI, tidak bertentangan dengan UUD Negara RI 1945.

"Menyatakan bahwa ketentuan Pasal 311 ayat 1, Pasal 298 ayat 1, Pasal 270, Pasal 272 ayat 1, Pasal 272 ayat 3, Pasal 258 ayat 2, Pasal 264 ayat 1 huruf b, Pasal 264 ayat 5, Pasal 291 ayat 2, Pasal 421 ayat 1, Pasal 442, dan pasal 454 huruf c, UU Nomor 17 Tahun 2023 Tentang kesehatan tidak bertentangan dengan ketentuan pembukaan UUD 1945 alinea 4; Pasal 27, Pasal 28 c ayat 1, Pasal 28 d ayat 1, Pasal 28 h ayat 1 UUD Negara Republik Indonesia 1945," jelas Budi.

Budi dalam paparannya mengatakan UU Nomor 17 Tahun 2023 itu dibentuk untuk menata ulang relasi kelembagaan agar lebih proporsional antara masyarakat dengan tenaga medis, tenaga kesehatan, dan negara. Budi mengatakan undang-undang ini adalah penyempurnaan.

"UU 17/2023 memperbarui sistem hukum kesehatan Indonesia yang sebelumnya tersebar di berbagai peraturan undang-undang, yang ditandai oleh fragmentasi kelembagaan dan disparitas antar profesi, pendekatan integratif yang digunakan UU 17/2023 menata ulang relasi kelembagaan secara lebih proporsional antara masyarakat sebagai fokus utama dengan tenaga medis, tenaga kesehatan, dan negara. Dari yang sebelumnya berorientasi pada organisasi profesi menjadi struktur yang lebih seimbang dan berorientasi kepada masyarakat," kata Budi.

"UU 17 Tahun 2023 merupakan penyempurnaan regulasi untuk menjawab beberapa permasalahan di bidang kesehatan, termasuk pengelolaan SDM kesehatan, hal ini mencakup pengaturan yang komprehensif terhadap penataan kelembagaan, penguatan peran pemerintah sebagai regulator, perbaikan tata kelola perencanaan, pendidikan, latihan pendayagunaan, pengawasan serta perlindungan tenaga medis dan tenaga kesehatan," tambahnya.

Budi memastikan UU Nomor 17 Tahun 2023 ini tidak menghapus atau melemahkan peran organisasi profesi. Dia mengatakan undang-undang ini bertujuan menempatkan organisasi profesi agar perannya sesuai dengan porsinya.

"Berkenaan dengan pengaturan organisasi profesi, UU 17/2023 tidak menghapus pengakuan terhadap organisasi profesi, tapi menempatkan organisasi profesi pada porsi yang sesuai sebagaimana tujuan pembentukan organisasi profesi, yaitu untuk menyejahterakan anggotanya, memberikan masukan kepada pemerintah di bidang pendidikan, pelatihan, sertifikasi, pengawasan etik dan disiplin profesi. Namun bukan sebagai regulator," tegas Budi.


Bantahan Pemerintah atas Gugatan

Tidak hanya menyampaikan paparannya, Budi juga membantah satu per satu dalil permohonan PB IDI. Bantahan ini disampaikan sebelum Budi meminta MK menolak gugatan PB IDI untuk seluruhnya.

Salah satu bantahan Budi adalah aturan mengenai sanksi pidana bagi seseorang yang mempekerjakan tenaga kesehatan yang tidak memiliki surat izin praktik (SIP). Menurut Budi, sanksi pidana itu perlu sebagai bentuk pertanggungjawaban.

PB IDI dalam salah satu petitumnya meminta MK menyatakan Pasal 422 UU Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan yang berbunyi "Setiap orang yang mempekerjakan Tenaga Medis dan/atau Tenaga Kesehatan yang tidak mempunyai SIP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 312 huruf c dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak Rp 500.000.000,00'. PB IDI menilai kalimat "dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak Rp500.000.000,00" tidak konstitusional bersyarat (conditionally inconstitutional) sepanjang tidak dimaknai "sanksi administratif atau denda administratif".

Mereka meminta Pasal 442 UU Nomor 17 Tahun 2023 menjadi berbunyi "Setiap orang yang mempekerjakan Tenaga Medis dan/ atau Tenaga Kesehatan yang tidak mempunyai SIP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 312 huruf c dikenakan sanksi administratif atau denda administratif".

Budi meminta MK menolak petitum itu, menurut Budi, pasien memerlukan jaminan kesehatan. Dia mengatakan tenaga kesehatan yang tidak memiliki SIP kemudian bekerja dalam suatu institusi kesehatan adalah bentuk kelalaian.

"Bahwa hak atas kesehatan sebagai dijamin sebagaimana dalam Pasal 28 ayat 1 dan Pasal 34 ayat 3 UUD 1945 tidak dapat dipisahkan dari jaminan atas keselamatan pasien, penempatan tenaga medis dan tenaga kesehatan yang tidak memiliki SIP dalam suatu institusi pelayanan kesehatan, merupakan bentuk kelalaian yang menimbulkan ancaman serius terhadap hak pasien atas layanan kesehatan yang bermutu," ucap Budi.

Budi menilai pemberlakuan sanksi pidana sudah benar. Hal ini bertujuan untuk mencegah adanya tindakan lalai.

"Berdasarkan hal tersebut sanksi pidana dalam pasal 422 UU 17/2023 bukan bentuk kriminalisasi administratif, melainkan bagian dari tanggung jawab negara dalam membentuk sistem hukum yang dapat mengatur dan mengawasi praktik keprofesian yang menyangkut keselamatan nyawa manusia, apabila negara tidak menegaskan larangan ini dengan mekanisme sanksi, maka sistem perizinan akan kehilangan daya ikatnya, dan masyarakat akan kehilangan perlindungan terhadap praktik tenaga medis dan tenaga kesehatan yang tidak kompeten," katanya.

"Dalam sistem hukum pidana, sanksi pidana terhadap pelaku yang memperkerjakan tenaga tanpa izin merupakan bentuk dan prinsip tanggung jawab dalam hukum administratif dan profesi sebagaimana juga berlaku di sektor lain, izin mengemudi, izin operasi rumah sakit, izin membangun, izin mengajar, seseorang yang secara sadar menempatkan tenaga yang belum memiliki izin dalam memberikan pelayanan kesehatan harus memikul tanggung jawab hukum," tambahnya.

Budi menilai ketentuan itu justru menegakkan kepastian hukum baik bagi tenaga medis dan tenaga kesehatan yang baik. Di satu sisi lain juga melindungi masyarakat dalam menerima layanan dari tenaga medis dan kesehatan yang kompeten.

"Sanksi pidana ini juga proporsional karena diberlakukan hanya kepada subjek hukum yang mempekerjakan secara tidak sah, bukan kepada semua pelaku kerja, artinya norma ini tidak bersifat strict liability, tetapi lebih tunduk kepada prinsip tidak ada kejahatan tanpa kelalaian," jelasnya.

Gugatan Pemohon

PB IDI diketahui mengajukan permohonan ke MK untuk menguji UU Nomor 17 Tahun 2023. PB IDI meminta MK mengubah sejumlah pasal dalam UU tersebut.

Adapun Pasal yang disertakan dalam permohonannya sebanyak 24 Pasal.

Berikut ini pasal yang dimohonkan mereka: Pasal 311 ayat 1, Pasal 268 ayat 1, Pasal 268 ayat 2, Pasal 1 angka 25, Pasal 269, Pasal 270 huruf b, Pasal 272 ayat 1, Pasal 272 ayat 3, Pasal 304 ayat 2, Pasal 306 ayat 1, Pasal 307, Pasal 310, Pasal 220, Pasal 258, Pasal 260, Pasal 261, Pasal 264 ayat 1, Pasal 264 ayat 5, Pasal 272 ayat 1, Pasal 287 ayat 4, Pasal 291 ayat 2, Pasal 421 ayat 1, Pasal 422, Pasal 454 huruf c.

Simak juga Video 'Sorotan DPR soal Gaya Komunikasi Menkes Budi yang Dinilai Kurang Bijak':

(zap/dhn)

Loading...

Hoegeng Awards 2025

Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini

Read Entire Article
Koran | News | Luar negri | Bisnis Finansial