Jakarta -
Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 135/PUU-XXII/2024 telah mengubah desain pemilu nasional dan daerah secara signifikan. Pemisahan antara pemilu presiden, DPR, dan DPD dengan pemilu DPRD dan kepala daerah menimbulkan jeda waktu antara dua pemilu yang sebelumnya digelar serentak. Dampak langsungnya adalah terjadinya masa transisi yang memerlukan penyesuaian hukum dan kelembagaan, termasuk potensi perpanjangan masa jabatan DPRD.
Sebagaimana kita ketahui, putusan MK bersifat final dan mengikat, artinya wajib dilaksanakan oleh pembentuk undang-undang tanpa perlu menunggu keputusan politik lebih lanjut. Namun demikian, pelaksanaan putusan tersebut tetap harus berpedoman pada prinsip-prinsip konstitusional, agar tidak mencederai asas-asas dasar negara hukum dan demokrasi.
Di sinilah muncul tantangan serius, yaitu bagaimana menjalankan putusan MK yang mengatur pemisahan jadwal pemilu, sementara konstitusi secara eksplisit mengatur bahwa pemilu dilaksanakan secara langsung setiap lima tahun sekali (Pasal 22E ayat 1 UUD 1945)? Jika masa jabatan DPRD diperpanjang tanpa pemilu, maka berpotensi melanggar prinsip kedaulatan rakyat.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Hal inilah yang hari ini banyak disuarakan oleh elit politik. Mereka mempertanyakan putusan MK yang ibarat buah simalakama, dijalankan melanggar konstitusi, tidak dijalankan melanggar prinsip putusan MK yang erga omnes.
Masa Transisi dalam Perspektif Demokrasi
Transisi demokrasi adalah sebuah fase kritis yang menuntut stabilitas, legitimasi, dan kejelasan arah. Dalam pandangan ilmuwan politik seperti Guillermo O'Donnell dan Philippe Schmitter, masa transisi merupakan periode "ketidakpastian terorganisir"-di mana institusi lama mulai ditinggalkan, sementara tatanan baru belum sepenuhnya mapan.
Oleh karena itu, diperlukan perangkat hukum dan kelembagaan sementara agar kekuasaan tetap berjalan tanpa menimbulkan krisis legitimasi. Kalau tidak hati-hati, bisa lahir power vacuum atau konflik legitimasi. Dalam praktiknya, fase transisi menuntut keseimbangan antara dua kutub, yaitu kutub stabilitas institusional dan kutub legitimasi demokratis.
Teori transisi demokrasi juga memetakan dua pendekatan berbeda. Pertama, transisi yang dirancang dari atas (top-down), biasanya oleh elite yang masih berkuasa, yang mencoba mengatur perubahan secara gradual demi menghindari disrupsi besar. Kedua, transisi berbasis tekanan bawah (bottom-up), yang lahir dari desakan masyarakat sipil, protes rakyat, atau momentum krisis.
Keduanya memiliki risiko dan peluang. Dalam konteks Indonesia, keputusan MK menciptakan ruang top-down yang memerlukan partisipasi dan koreksi publik agar tetap sah secara demokratis.
Larry Diamond seorang sosiolog politik Amerika Serikat yang menggeluti bidang studi demokrasi, menekankan pentingnya empat indikator konsolidasi demokrasi dalam masa transisi, yaitu berupa aturan main politik yang diterima semua aktor, lembaga yang kredibel, budaya politik yang demokratis, dan partisipasi masyarakat yang kuat. Dalam masa transisi, keempat pilar ini cenderung rapuh dan perlu dukungan ekstra.
Sebagai preseden di masa transisi, sejarah mencatat praktik negara-negara lain yang dapat memberi pelajaran penting. Afrika Selatan pasca-apartheid, Dewan Transisi Nasional menjadi pengatur jalannya pemerintahan sebelum pemilu multiras pertama digelar. Jerman pasca-reunifikasi, pemilu Bundestag dilakukan dalam dua tahap untuk menyelaraskan sistem antara wilayah timur dan barat.
Tunisia pasca-Arab Spring membentuk Majelis Konstituante yang menjabat sementara selama 18 bulan sebelum pemilu resmi dilaksanakan. Sedangkan di Indonesia, sejarah juga mencatat bahwa pada 1977 masa jabatan DPR diperpanjang satu tahun untuk menyelaraskan siklus pemilu. Bahkan menjelang Pilkada Serentak 2024, ratusan kepala daerah diisi oleh penjabat (Pj) kepala daerah hingga terpilihnya kepala daerah definitif.
Solusi Konstitusional
Untuk menjaga pelaksanaan putusan MK tetap dalam koridor konstitusi, menurut penulis beberapa langkah strategis berikut ini dapat diambil. Pertama, Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) perlu mempertimbangkan untuk mengamandemen UUD 1945 secara terbatas. Amandemen ini dapat memasukkan ketentuan peralihan (transitory provision) yang memberi ruang konstitusional terhadap masa transisi dan perpanjangan jabatan dalam situasi khusus.
Kedua, DPR dan Pemerintah perlu segera merevisi UU Pemilu dan UU Pilkada untuk mengakomodasi hasil putusan MK, termasuk menyusun mekanisme perpanjangan masa jabatan yang bersifat terbatas dan dapat dievaluasi.
Ketiga, diperlukan penyusunan peta jalan (roadmap) transisi yang jelas, terukur, dan disusun secara partisipatif bersama pemangku kepentingan seperti MK, KPU, Bawaslu, akademisi, dan organisasi masyarakat sipil.
Keempat, untuk menjaga akuntabilitas selama masa transisi, perlu dibentuk mekanisme pengawasan independen yang melibatkan masyarakat sipil dan lembaga pengawasan negara.
Kelima, komunikasi publik harus diperkuat agar masyarakat memahami bahwa masa transisi ini bukan bentuk pembangkangan terhadap demokrasi, melainkan upaya penyesuaian sistemik untuk menyongsong penyelenggaraan pemilu yang lebih berkualitas.
Putusan MK Nomor 135/PUU-XXII/2024 adalah keniscayaan hukum yang harus dilaksanakan. Putusannya yang final dan mengikat, mau tidak mau wajib ditindaklanjuti karena tidak ada mekanisme upaya hukum lain. Konstitusi kita mengatur pemisahan kekuasaan dalam tiga cabang yaitu eksekutif, legislatif dan yudikatif. Hal itu dimaksudkan agar ada mekanisme check and balance terhadap masing-masing cabang kekuasaan.
Namun demikian, pelaksanaannya menuntut kecermatan dalam menjaga kesetiaan pada konstitusi. Masa transisi yang dihadapi saat ini bukan hanya persoalan teknis jadwal pemilu, melainkan tantangan serius dalam menjaga kualitas demokrasi dan konstitusionalisme.
Dengan keberanian untuk membuka ruang amandemen UUD 1945 secara terbatas dan penyesuaian regulasi secara akuntabel, kita dapat mengelola masa transisi ini sebagai jembatan menuju demokrasi yang lebih matang dan berintegritas.
Fauzi Heri. Anggota DPRD Provinsi Lampung dan Mantan Penyelenggara Pemilu.
(imk/imk)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini