Review Film: No Other Choice

3 hours ago 2

img-title Endro Priherdityo

Tak heran Korea Selatan memilih No Other Choice sebagai perwakilan ke ajang Piala Oscar 2026 untuk kategori Best International Feature Film.

Jakarta, CNN Indonesia --

Saya tak heran Korea Selatan memilih No Other Choice sebagai perwakilan ke ajang Piala Oscar 2026 untuk kategori Best International Feature Film. Selain tema dan genre yang mirip dengan Parasite (2019), No Other Choice punya kisah yang dialami banyak negara.

Selain itu, naskah yang ditulis Park Chan-wook bersama Don McKellar, Lee Kyoung-mi, dan Lee Ja-hye, berdasarkan novel The Ax (1997) karya Donald Westlake ini mengingatkan saya akan insting dasar manusia: bertahan hidup.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Latar cerita karyawan senior korban PHK, karena efisiensi dan mekanisasi menyinggung bagaimana Revolusi Industri yang sudah berjalan sejak abad 18 dan terus berevolusi hingga kini itu, selalu punya harga yang dibayar dan seringkali menyentuh batas nurani manusia.

Akan selalu ada hidup orang yang terganggu, keluarga yang dilanda awan mendung ketidakpastian, anak kecil yang mimpinya tergadaikan, hingga membangkitkan ide gila hanya demi bertahan hidup. Dengan kata lain, hukum rimba diaktifkan.

Apalagi saat Revolusi Industri berpindah dari era otomatisasi dan digital dalam 3.0, menjadi 4.0 dimana teknologi siber, AI, dan IoT semakin memaksa manusia untuk saling bersaing menjadi yang terbaik bila tidak mau tersingkir oleh mesin ciptaan mereka sendiri.

Ada orang yang tak ikut dengan arus perubahan zaman, di mana perkembangan teknologi yang mereka ketahui hanyalah sebatas melengkapi kehidupan, bukan menggantikan fungsi mereka sebagai manusia. Bagi mereka, tak ada pilihan yang ada selain tersingkir.

Son Ye-jin dan Lee Byung-hun dalam film terbaru sutradara Park Chan-wook, No Other Choice (2025). (CJ ENM Co., Ltd)Review No Other Choice: Naskah yang ditulis Park Chan-wook bersama Don McKellar, Lee Kyoung-mi, dan Lee Ja-hye, berdasarkan novel The Ax (1997) karya Donald Westlake ini mengingatkan akan insting dasar manusia: bertahan hidup. (CJ ENM Co., Ltd)

Di sisi lain, ada juga mereka yang berusaha untuk melawan itu dan berusaha mengalahkan arus, meski harus menanggalkan moral dan menjadi Machiavellian. Bagi golongan ini, tak ada pilihan lain selain bertahan hidup.

Gagasan tragedi itu kemudian dipadu dengan drama thriller yang cukup intens oleh Park dan tim penulis. Beruntungnya, mereka bisa membungkus sajian tersebut dengan sesekali komedi yang cukup meringankan beban dalam mencerna ceritanya, dengan humor tidak sampai pada tahapan slapstick yang konyol.

Park yang juga duduk sebagai sutradara turut menyertakan teknik pengambilan gambar dan komposisi warna demi terasa dramatis, tetapi unik pada saat yang sama. Meskipun saya rasa permainan kamera di sejumlah bagian terasa agak berlebihan.

Park dan tim penulis juga tampak terlalu bertele-tele dalam menuturkan cerita No Other Choice dan bermain-main dengan pengambilan gambar, yang membuat film ini terasa agak menjemukan pada beberapa babak.

Saya memahami keinginan Park Chan-wook dan tim penulis untuk benar-benar mengikuti kehidupan Yoo Man-soo (Lee Byung-hun) sejak dipecat hingga berjuang untuk mendapatkan pekerjaan dengan menyingkirkan seluruh pesaingnya.

Film Korea No Other Choice (2025). (Moho Film)Review film No Other Choice: Meski pada awalnya terasa ganjil, tapi seiring dengan berjalannya durasi, chemistry Son Ye-jin dan Lee Byung-hun sebagai 'partner in crime' bisa berpadu dengan baik. (Moho Film)

Namun ada beberapa bagian dalam perjalanan kehidupan Man-soo tersebut yang sebenarnya tidak terlalu berpengaruh dalam cerita karena cuma bumbu drama, sehingga saya rasa naskahnya masih bisa dibuat lebih ringkas.

Meski begitu, saya sangat menikmati thriller yang disajikan oleh Park dan tim, dan dieksekusi dengan baik oleh Lee Byung-hun. Bahkan lebih dari itu, Lee membabat habis berbagai situasi dalam film ini, entah thriller, komedi, hingga drama.

Saya mengapresiasi bagaimana Son Ye-jin bisa memerankan istri Man-soo, Lee Miri, dengan cukup baik. Meski pada awalnya terasa ganjil, tapi seiring dengan berjalannya durasi, chemistry Son dan Lee sebagai 'partner in crime' bisa berpadu dengan baik.

Pujian juga patut diberikan untuk Lee Sung-min yang memerankan Gu Bummo dan Yeom Hye-ran sebagai Lee Ara. Duet mereka dengan Lee Byung-hun dalam satu adegan bagi saya adalah adegan paling epik dari film ini.

Bahkan, saya lebih suka momen mereka bertiga dibanding saat Lee Byung-hun berhadapan dengan Park Hee-soon yang memerankan Choi Seon-chul. Meskipun pada satu sisi, kegilaan Man-soo jelas dipancarkan dengan baik oleh Lee Byung-hun saat berada di hadapan Park Hee-soon.

Meski memang menggambarkan masalah sosio-ekonomi saat ini dan menyentuh sifat dasar manusia, No Other Choice sayangnya belum memiliki faktor emosional seperti yang ditunjukkan Bong Joon-ho dalam Parasite (2019).

Bukan karena No Other Choice kekurangan cerita drama, tapi saya merasa film ini tidak memiliki trigger emosional yang sama dengan yang dimiliki Parasite: ketimpangan sosial-ekonomi yang langsung dihajar dalam satu frame.

No Other Choice sebenarnya lebih fokus pada pilihan-pilihan yang seolah-olah diambil karena dianggap kepepet, padahal sebenarnya itu hanya dalam benak si protagonis. Hal itu membuat ada jarak dengan saya sebagai penonton untuk benar-benar masuk dalam kisah tersebut.

Sementara dalam Parasite, Bong Joon-ho dengan brutal menampar penonton dalam potret kesenjangan, baik secara sosial, ekonomi, maupun psikologis, yang membuat penonton setidaknya mengalami satu dari sekian banyak cerita yang dihadirkan Bong.

Meskipun begitu, No Other Choice tetap jauh lebih bagus dibanding film lokal yang saya tonton sepanjang tahun ini. Bahkan membuat saya iri, kapan sineas dan produser film di Indonesia memiliki kepekaan yang sama untuk menyajikan cerita yang benar-benar relevan dengan realitas.

[Gambas:Youtube]

(end)

Read Entire Article
Koran | News | Luar negri | Bisnis Finansial