Legislator Gerindra Sebut Putusan MK Pisah Pemilu Berpotensi Langgar Konstitusi

18 hours ago 4

Jakarta -

Anggota Komisi II DPR RI Fraksi Gerindra Heri Gunawan mengatakan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 135/PUU-XXII/2024 yang memisahkan jadwal pemilu nasional dan pemilu daerah perlu dikaji secara mendalam dengan mempertimbangkan segala aspek secara komprehensif. Menurutnya, putusan itu perlu didalami agar tidak bertentangan dengan konstitusi.

Heri menegaskan, berdasarkan Pasal 24C Ayat (1) UUD NRI 1945 Mahkamah Konstitusi (MK) berwenang menguji undang-undang terhadap UUD yang putusannya bersifat final. Namun, kata dia, putusan tersebut harus sesuai dengan ketentuan konstitusi.

"Semuanya perlu dipelajari secara seksama. Ditimbang sisi positif dan negatifnya. Di satu sisi, putusan MK tersebut memang sudah mempertimbangkan dinamika pemilu serentak 2024 yang masih ditemukan beberapa kelemahan. Namun, pada sisi lainnya juga terdapat hal-hal kontroversial yang berpotensi melanggar UUD 1945 dan juga melewati batas kewenangan kelembagaan Mahkamah Konstitusi," kata Heru kepada wartawan, Rabu (2/7/2025).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Heri menjabarkan beberapa sisi positif putusan MK yang dianggap dapat berdampak pada penguatan konsolidasi demokrasi di tingkat lokal, peningkatan partisipasi pemilih, dan memperkuat kinerja kelembagaan penyelenggara pemilu. Pertama, pemisahan pemilu nasional dan pemilu daerah akan mendorong isu-isu lokal bisa menguat secara signifikan dan menjadi pertimbangan utama pemilih dalam mendukung calon legislatif daerah.

"Selama ini, isu lokal selalu tertutup oleh isu nasional, sehingga pemilih tidak memiliki banyak pertimbangan dalam menentukan pilihan politiknya," kata Ketua DPP Partai Gerindra itu.

Kedua, lanjutnya, pemisahan pemilu akan berpotensi mendorong peningkatan partisipasi pemilih dalam pilkada. "Pemilu serentak 2024 menghasilkan partisipasi pemilih yang berbeda antara pemilu legislatif dan Pilkada. Dalam pemilu legislatif dan pilpres, partisipasi pemilih tercatat sebesar 81 persen. Sementara partisipasi pemilih dalam pilkada menurun hanya menjadi 71 persen. Turunnya partisipasi pemilih dalam Pilkada dikarenakan adanya kejenuhan masyarakat yang menganggap jarak kedua pemilihan tersebut terlalu dekat," kata Heri.

Ketiga, pemisahan pemilu akan mendorong penyelenggara pemilu bisa memiliki waktu yang longgar untuk mempersiapkan pemilihan secara lebih baik. "Penyelenggara pemilu bisa mempersiapkan pelaksanaan pemilu secara lebih baik dan lebih handal, termasuk melakukan perbaikan daftar pemilih untuk meminimalisir adanya daftar pemilih yang bermasalah," ujar Heri.

Di samping itu, Heri menjelaskan sisi kontroversial putusan MK dan dampaknya terhadap penurunan kualitas demokrasi. Pertama, putusan MK yang memisahkan pemilu nasional dan pemilu lokal dianggap berpotensi akan mendorong meningkatnya petualang politik. Para calon legislatif DPR dan DPD yang gagal dalam pemilihan nasional bisa mencoba keberuntungan menjadi calon legislatif DPRD.

"Tampilnya para politisi pusat dalam pertarungan legislatif daerah bisa menyebabkan mengecilnya peluang putra-putra daerah menjadi anggota DPRD, mengingat para politisi pusat umumnya 'relatif' memiliki keunggulan modal dan jaringan. Hal tersebut akan menyebabkan penurunan demokrasi di daerah. Pesta demokrasi pemilihan lokal hanya dikuasai aktor-aktor politik dari pusat," kata Heri.

Kedua, putusan MK yang memisahkan pemilihan nasional dan pemilihan lokal berpotensi bertentangan dengan konstitusi.

"Pasal 22E Ayat (1) UUD NRI 1945 menyatakan pemilu dilaksanakan setiap lima tahun sekali. Lalu ayat (2) menyatakan pemilu diselenggarakan untuk memilih anggota DPR, DPD, Presiden dan Wakil Presiden, dan DPRD," jelasnya.

Menurut Heri, putusan MK berpotensi memperpanjang masa jabatan DPRD menjadi lebih dari 5 tahun. Hal tersebut dikarenakan sulitnya menggantikan anggota DPRD dengan pejabat DPRD (pj), sebagaimana yang pernah terjadi pada kepala daerah yang digantikan oleh pejabat kepala daerah (pj).

"Kepala daerah yang berjumlah 545 pasangan bisa diganti dengan pejabat (pj) kepala daerah sebagaimana yang pernah dipraktikkan pada 2022 hingga 2023. Namun untuk mengganti Anggota DPRD Provinsi yang jumlahnya mencapai 2.372 orang dan anggota DPRD Kabupaten/Kota yang jumlahnya 17.510 orang tentu akan mengalami kesulitan," jelasnya.

"Perpanjangan masa jabatan anggota DPRD menjadi lebih dari 5 tahun akan menyebabkan krisis konstitusional, sebab apabila Putusan MK dilaksanakan justru dapat mengakibatkan pelanggaran konstitusi," lanjutnya.

Selain itu, Heri menganggap pemisahan skema pemilihan Presiden, DPR RI, DPD RI dengan Kepala Daerah dan DPRD juga melanggar UUD NRI 1945. "Perlu diketahui bahwa baik pemilihan anggota DPRD maupun Kepala Daerah merupakan bagian dari rezim pemilu sehingga pemilu harus dilaksanakan setiap 5 tahun sekali meskipun waktunya berbeda," jelasnya.

"Perlu diketahui, penegasan DPRD sebagai rezim pemilu dijelaskan dalam pasal 22E UUD NRI 1945, sedangkan pilkada sebagai rezim pemilu ditegaskan dalam Putusan MK 95/2022," lanjutnya.

Ketiga, lanjut dia, MK dianggap telah melewati batas kewenangannya yang hanya sebagai penguji undang-undang terhadap UUD, bukan pembuat norma. Putusan MK yang memisahkan pemilihan nasional dan daerah telah mengambil alih kewenangan legislatif terkait open legal policy yang merupakan kewenangan DPR dan presiden. "Konstitusi kita sudah mengatur bahwa DPR dan Presiden sebagai pemegang kekuasaan legislatif. Kedua lembaga tersebut yang berhak untuk menyusun dan mengubah suatu norma. Hal tersebut ditegaskan dalam Pasal 5 dan Pasal 20 UUD NRI 1945," tegasnya.

(fca/imk)

Loading...

Hoegeng Awards 2025

Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini

Read Entire Article
Koran | News | Luar negri | Bisnis Finansial