Jakarta -
Tujuh bulan telah berlalu sejak Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka resmi mengemban amanah memimpin pemerintahan Indonesia. Waktu yang relatif singkat ini sebenarnya menyimpan makna penting sebagai periode awal pengukuran arah kebijakan dan efektivitas kepemimpinan baru.
Di mata publik, sejumlah langkah strategis yang diambil telah menunjukkan keberanian dan ketegasan dalam mengambil keputusan, terutama di bidang ekonomi, sosial, dan pertahanan. Kebijakan-kebijakan yang muncul menandakan usaha pemerintah untuk merespon tantangan nasional dengan pendekatan yang lebih terukur dan pragmatis, sekaligus membangkitkan optimisme bahwa Indonesia sedang menuju pada momentum baru dalam pembangunan nasional.
Namun, penting untuk diingat, sebagaimana nasihat klasik dalam ilmu kebijakan publik, bahwa "what is seen is not always what is understood." Artinya, apa yang tampak di permukaan – baik berupa angka statistik, pernyataan resmi, atau headline media – belum tentu mencerminkan realitas yang sesungguhnya di lapangan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Terkadang, kebijakan yang tampak sukses secara kuantitatif belum tentu menyentuh persoalan mendasar yang selama ini menjadi kendala struktural bangsa. Sebaliknya, beberapa inisiatif yang terkesan kontroversial atau lambat dalam pelaksanaannya mungkin menyimpan potensi strategis jangka panjang yang belum dipahami oleh banyak pihak.
Oleh karena itu, penting bagi kita untuk menempatkan berbagai tanda-tanda perubahan ini dalam konteks yang lebih luas, dengan pemahaman kritis yang mendalam dan berbasis data, agar optimisme yang muncul tidak sekadar euforia sesaat, melainkan fondasi yang kokoh untuk kebangkitan nasional yang sesungguhnya.
Dari Memori Historis ke Agenda Kontemporer
Dalam benak kolektif bangsa Indonesia, istilah "kebangkitan nasional" identik dengan peristiwa 20 Mei 1908, saat lahirnya organisasi Budi Oetomo yang menjadi simbol awal kesadaran kebangsaan. Namun dalam konteks kekinian, pemaknaan terhadap kebangkitan nasional perlu diperluas dari sekadar peringatan historis menjadi agenda aktual pembangunan bangsa.
Kebangkitan hari ini tak lagi cukup hanya dimaknai sebagai kebangkitan semangat, tetapi harus hadir dalam bentuk kebangkitan institusional, ekonomi, sosial, dan ekologis yang bisa dirasakan langsung oleh rakyat.
Secara teoritis, kita dapat meminjam kerangka dari pendekatan strukturalis seperti yang dikemukakan Gunnar Myrdal tentang circular and cumulative causation. Dalam pendekatan ini, pembangunan tidak berjalan dalam garis lurus, melainkan melalui lingkaran pengaruh yang saling memperkuat antara sektor ekonomi, sosial, dan politik. Bila satu sektor diperkuat, sektor lain akan mengikuti secara sinergis.
Maka kebangkitan nasional sejati adalah ketika pertumbuhan ekonomi mendorong pemerataan, pemerataan mendorong stabilitas sosial, dan stabilitas menciptakan ruang bagi inovasi serta penguatan kapasitas negara.
Dengan demikian, pertanyaannya bukan lagi apakah Indonesia sedang bangkit, tetapi apakah arah kebangkitan itu inklusif, sistemik, dan berkelanjutan?
Dalam tujuh bulan pertama pemerintahan Prabowo-Gibran, kebijakan-kebijakan awal yang diluncurkan dapat dibaca sebagai upaya meletakkan dasar-dasar dari kebangkitan tersebut.
Namun penting untuk dicatat: kebangkitan bukan semata produk niat politik, melainkan hasil dari konsistensi, ketangguhan kelembagaan, dan kemauan kolektif untuk berubah.
Tanda-Tanda Optimisme
Optimisme terhadap masa depan Indonesia selama tujuh bulan awal pemerintahan Prabowo-Gibran tumbuh dari kebijakan yang jelas dan progresif, terutama di bidang investasi. Pada kuartal I 2025, realisasi investasi mencapai Rp 401,5 triliun, naik 18,3% dari tahun sebelumnya. Sektor yang paling banyak menyerap investasi adalah manufaktur, logistik, dan energi terbarukan, sejalan dengan program hilirisasi dan transisi energi.
Meski investasi meningkat, yang dibutuhkan adalah kualitas, keberlanjutan, dan kepastian hukum. Pemerintahan Prabowo-Gibran perlu menjaga keseimbangan antara percepatan dan konsolidasi agar investasi benar-benar mendukung transformasi ekonomi yang inklusif dan berdaulat. Namun, muncul tantangan baru seperti pembentukan Danantara – Lembaga mirip sovereign wealth fund kedua – yang masih menuai kritik terkait transparansi dan tumpang tindih kewenangan dengan INA.
Secara global, Indonesia menghadapi hambatan dari kebijakan tarif baru AS terhadap produk seperti baja dan nikel, yang berpotensi mengganggu ekspor dan menurunkan minat investor. Pemerintah perlu menyesuaikan strategi hilirisasi, mencari pasar baru, dan memperkuat diplomasi ekonomi untuk menjaga posisi Indonesia sebagai negara independen. Forum seperti G20 dan IPEF perlu dimanfaatkan untuk membangun narasi ini.
Program makan siang gratis juga mulai menunjukkan dampak positif. Di 15 kabupaten percontohan, partisipasi siswa SD naik 6% dalam dua bulan. Program ini mendorong pendidikan, perbaikan gizi, dan ekonomi lokal. BPS mencatat kenaikan permintaan produk pertanian lokal sebesar 8,2% di wilayah percontohan. Jika dikelola dengan baik, program ini dapat menyatukan perlindungan sosial dan pembangunan pertanian komunitas.
Di bidang pertahanan, alokasi anggaran dalam RPJMN 2025–2029 meningkat jadi 1,7% dari PDB, naik dari 0,8% pada 2023. Fokusnya mencakup drone tempur, pertahanan siber, kapal selam, dan radar maritim. Ini mencerminkan pergeseran dari pertahanan pasif ke strategi pencegahan aktif, sebagai bagian dari pendekatan comprehensive security yang meliputi keamanan militer, pangan, energi, dan digital.
Secara keseluruhan, investasi, ketahanan pangan, dan pertahanan menjadi tiga pilar utama kebangkitan nasional versi Prabowo-Gibran. Ketiganya saling melengkapi: investasi memperkuat ekonomi, program sosial memperkuat kohesi masyarakat, dan pertahanan menjaga kedaulatan. Namun, agar tidak hanya menjadi agenda elite, fondasi ini harus diperkuat dengan keberlanjutan, kelembagaan yang kuat, dan partisipasi publik.
Catatan Kritis yang Tak Boleh Diabaikan
Di balik optimisme, masih ada tantangan struktural yang perlu diatasi. Salah satunya adalah ketimpangan pembangunan. Meski investasi tumbuh, sebagian besar masih terpusat di Jawa – khususnya Jawa Barat, DKI Jakarta, dan Jawa Timur – yang menyerap lebih dari 55% investasi. Ketimpangan ini dapat memperbesar jurang antarwilayah dan memperlemah daya saing daerah di luar Jawa.
Strategi hilirisasi juga belum sepenuhnya lepas dari ketergantungan, karena banyak proyek dikerjakan melalui kerja sama dengan investor asing, terutama dari Tiongkok. Meskipun menguntungkan dari sisi teknologi dan pendanaan, ketergantungan yang tinggi bisa menjadi risiko jika terjadi konflik geopolitik atau perdagangan. Oleh sebab oitu, diversifikasi mitra dan transfer teknologi harus menjadi prioritas ke depan.
Tantangan lain adalah soal tata kelola. Ambisi besar seperti makan siang gratis, proyek strategis, dan peningkatan belanja pertahanan membutuhkan lembaga yang kredibel dan akuntabel. Danantara, meski menjanjikan, belum menjawab kekhawatiran publik soal pengawasan. Tanpa penguatan lembaga pengawas dan keterbukaan informasi, risiko penyalahgunaan wewenang akan meningkat.
Selain itu, birokrasi perlu diperkuat. Banyak program strategis tersendat di lapangan karena tumpang tindih kewenangan, SDM yang terbatas, atau kurangnya koordinasi. Reformasi birokrasi tidak cukup hanya soal efisiensi, tetapi harus membentuk birokrasi yang adaptif terhadap era digital dan berbasis bukti (evidence-based policy).
Singkatnya, kebangkitan nasional versi Prabowo-Gibran tidak akan bertahan jika masalah struktural tidak diatasi. Investasi bisa stagnan, program sosial kehilangan arah, dan pertahanan menjadi lemah jika tidak didukung birokrasi yang siap dan tata kelola yang solid. Ini memerlukan pendekatan lintas sektor dan keberanian untuk melakukan koreksi sejak dini.
Jalan ke Depan
Secara garis besar, kita bisa menilai, pemerintahan Prabowo-Gibran sedang membangun fondasi bagi kebangkitan nasional yang baru. Namun untuk benar-benar berhasil, arah pembangunan perlu diperkuat dengan dua hal penting: reformasi struktural dan konsolidasi demokrasi.
Reformasi struktural berarti mendorong efisiensi anggaran, memperkuat birokrasi, dan membangun sistem hukum yang tegas. Tanpa reformasi ini, investasi bisa terhambat, dan program-program unggulan seperti makan siang gratis bisa tidak tepat sasaran. Pemerintah juga perlu memperbaiki sistem pengawasan, baik dari dalam (internal audit) maupun melalui partisipasi masyarakat.
Di sisi lain, konsolidasi demokrasi sangat penting agar pembangunan tetap berpihak pada rakyat. Kemenangan dalam pilpres tidak boleh diartikan sebagai cek kosong. Ruang publik harus tetap hidup, dan kritik dari masyarakat harus dilihat sebagai koreksi yang sehat, bukan ancaman. Pemerintahan yang kuat adalah yang mau mendengar dan belajar.
Dalam konteks global yang penuh ketidakpastian – konflik geopolitik, perubahan iklim, dan disrupsi teknologi – Indonesia butuh pemimpin yang tidak hanya tegas, tapi juga bijak. Kebijakan luar negeri harus aktif, menjaga kemandirian nasional sekaligus memperkuat kerja sama regional dan global.
Jalan ke depan tidak mudah. Tapi jika Prabowo-Gibran mampu menjaga momentum, memperkuat tata kelola, dan tetap membuka ruang dialog, kebangkitan nasional bukan sekadar slogan, melainkan kenyataan yang dirasakan rakyat. Semoga…
Penulis, Dosen Hubungan Internasional Fisip - UNIKOM, Bandung
(jat/jat)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini