Job Fair Cuma Formalitas! Perusahaan Tidak Bener-benar Rekrut Pekerja

2 days ago 14

Jakarta -

Viral video di sejumlah media sosial yang menampilkan seorang Human Resource Development atau HRD, yang menyebut bursa kerja atau job fair hanya formalitas belaka. Unggahan tersebut menyatakan, job fair hanya untuk memenuhi Key Performance Indicator (KPI) atau indikator kinerja utama dari kedinasan terkait.

Menanggapi hal tersebut, Direktur Kebijakan Publik Center of Economic and Law Studies (Celios) Media Wahyudi Askar mengatakan, job fair yang digelar pemerintah daerah kerap kali bersifat paksaan. Ia mengatakan, hal ini biasa terjadi di sejumlah kawasan industri.

"Memang selama ini, untuk job fair yang diadain pemerintah daerah, juga banyak perusahaan yang 'dipaksa' untuk ikut. Akhirnya perusahaan itu terpaksa ikut saja dan tidak pernah benar-benar merekrut. Ini banyak terjadi di kawasan-kawasan industri," ujar Askar saat dihubungi detikcom, Selasa (3/6/2025).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Askar menuturkan, skema job fair sendiri telah banyak ditinggalkan negara-negara berkembang di Asia Selatan, Afrika, hingga Amerika Latin. Hal tersebut dimungkinkan karena pasar tenaga kerja di negara tersebut dibangun dengan baik.

Berdasarkan data yang dibagikan Askar kepada detikcom, tercatat adanya penurunan jumlah pelamar di saat jumlah lowongan kerja. Dari sekitar 883.000 lowongan kerja sepanjang 2025, hanya ada sekitar 400.000 pelamar.

Kondisi ini terjadi karena ada beberapa hambatan seperti diskriminasi persyaratan bagi pelamar kerja, upah rendah, kondisi kerja tidak layak, dan tentu soal ketidakpastian ekonomi. Selain itu ada faktor mismatch antara latar belakang pendidikan dengan pekerjaan.

"Job fair berskala besar itu sudah ditinggalkan di negara lain, bahkan termasuk negara-negara berkembang di Asia Selatan, Amerika Latin, Afrika, apalagi Eropa. Itu tidak lagi menggunakan skema-skema job fair berskala besar, di mana satu wilayah, kemudian orang berdatangan ke sana," ujarnya.

Berdasarkan data Celios, angka pengangguran sendiri didominasi oleh tenaga kerja di usia muda. Ada sekitar 44% generasi muda yang menganggur berada di rentang usia 20-24 tahun di 2025.

Sementara pada rentang usia 25 tahun ke atas, ada sekitar 15% dari total tenaga kerja yang menganggur. "Faktanya, pencari kerja yang dominan itu tidak hanya yang fresh graduate (lulusan baru) tapi juga yang nyari pekerjaan baru, yang usianya sudah di atas 35 tahun," ungkapnya.

Askar menilai, pemerintah perlu menghentikan job fair berskala besar karena dinilai tidak efektif menyerap tenaga kerja. Menurutnya, pemerintah perlu membenahi pasar tenaga kerja dalam negeri dan mulai memanfaatkan platform pencarian kerja digital.

"Penawaran kerja itu memang mengikuti mekanisme pasar, perusahaan menawarkan lowongan di platform mereka, baik itu di website maupun di platform pencari kerja seperti jobstreet, LinkedIn dan sebagainya," jelasnya.

Dihubungi terpisah, Direktur Ekonomi Digital Celios Nailul Huda menjelaskan, job fair sering kali hanya membuka pendaftaran administrasi tanpa tahap lanjutan. Dalam kondisi ini, ia menilai pencarian kerja akan lebih efektif dilakukan secara online.

"Job fair efektif jika ada walk-in interview karena dapat mempersingkat waktu tunggu pencari kerja dalam mendapatkan kepastian kerja. Jika hanya pendaftaran administrasi, saya rasa akan jauh lebih efektif online job fair dibandingkan job fair secara offline," ungkapnya.

Ia juga tak menampik adanya cap formalitas dalam job fair yang melibatkan perusahaan. Kehadiran perusahaan tersebut seringkali hanya memenuhi keinginan pemerintah.

Di sisi lain, pelaksanaan job fair dinilai tidak mudah dengan berbagai persyaratan, seperti laporan lowongan pekerjaan hingga jumlah pekerja yang diterima.

"Tentu langkah ini harus diawasi betul oleh pemerintah berapa lowongan yang tersedia di job fair dan berapa yang diterima. Pemerintah harus mengevaluasi secara rutin. Jika memang lowongan kerja banyak namun sedikit yang diterima maka ada masalah. Apakah dari pencari kerja yang tidak sesuai dengan kebutuhan pemberi kerja? Atau pemberi kerja hanya menjalankan formalitas saja?" ujarnya.

Huda menjelaskan, pemerintah saat ini juga memiliki portal SIAPkerja yang menjadi wadah pencari kerja menunjukkan kualitasnya kepada pemberi kerja. Menurutnya, pencari kerja mestinya sudah terdaftar di portal tersebut dan memudahkan proses merekrut dan pencari kerja ketika job fair.

"Di peraturannya pun sebenarnya pencari kerja harus mendaftar di portal SIAPkerja, namun saya ragu apakah syarat tersebut terpenuhi atau tidak," ungkapnya.

Sementara terkait membludaknya pencari kerja yang mencoba peruntungan di job fair, Huda menilai, kondisi ini menjadi bukti kegagalan pemerintah menciptakan pertumbuhan ekonomi yang berkualitas.

"Pertumbuhan ekonomi memang ada di angka 5%, namun penyerapan tenaga kerjanya terus berkurang. Dahulu 1% pertumbuhan ekonomi dapat menyerap tenaga kerja sebesar 400 ribu tenaga kerja. Sekarang, 1% pertumbuhan ekonomi hanya mampu menyerap sekitar 100 ribu tenaga kerja saja," terangnya.

Saksikan juga Sosok: Iman Surahman, 'Abah' Anak-anak Terlantar

Lihat juga Video: Angka Pengangguran RI Peringkat Kedua Terbesar di Asia

(rrd/rrd)

Read Entire Article
Koran | News | Luar negri | Bisnis Finansial