Tak hanya dihantam rudal Israel, warga Gaza juga menghadapi kondisi kelaparan karena ketersediaan bahan makanan terbatas sampai akses dibatasi pasukan Israel. Penduduk Gaza sampai tak makan dua hari lebih, kondisi suliti membuat mereka beradaptasi untuk melajutkan hidup.
Salah satu dari tiga jurnalis lepas BBC News yang berada di Gaza seperti dilansir pada Senin (28/7), menyebut kondisi saat ini sebagai "masa paling berat yang pernah saya alami sejak lahir. Ini adalah krisis dahsyat yang penuh penderitaan dan kondisi penuh kekurangan."
Pakar ketahanan pangan global belum mengklasifikasikan situasi di Gaza sebagai bencana kelaparan, tapi badan-badan di bawah PBB telah memperingatkan bahwa situasi kelaparan massal akibat perbuatan manusia tengah berlangsung di wilayah tersebut. Israel membantah atas kesalahan kontrol pangan berlebihan terhadap wilayah Palestina.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Mereka--identitas para jurnalis disenyumbinyakan atas alasan keselamatan--menuturkan, kondisi paling menyakitkan saat ini adalah ketidakmampuan mereka memberi makan orang-orang terdekat, terutama anak kecil dan kelompok rentan.
"Anak saya yang mengidap autisme tidak menyadari situasi yang tengah terjadi. Dia tidak bisa bicara dan tidak paham bahwa kami sedang terjebak di tengah peperangan," ujar salah seorang juru kamera di Gaza yang memiliki empat anak.
"Hari-hari belakangan dia sangat kelaparan, bahkan sampai memukul-mukul perutnya untuk mengisyaratkan bahwa dia ingin makan."
Jurnalis muda yang bertugas di Gaza selatan mengisahkan bahwa dia merupakan tulang punggung keluarga yang harus menghidupi orang tua dan saudaranya. "Saya terus memikirkan cara mendapatkan makanan untuk keluarga," ujarnya.
"Adik perempuan saya yang berusia 13 tahun terus-menerus meminta air, tapi kami tidak bisa memberikannya karena yang tersedia sudah tercemar."
Kondisi Sulit
Kantor berita besar internasional, seperti BBC News, Agence France-Presse (AFP), Associated Press (AP), dan Reuters, mendesak pemerintah Israel untuk mengizinkan wartawan masuk dan keluar dari Gaza. Bersama sejumlah media lain, BBC telah merilis pernyataan atas kondisi memprihatinkan yang menimpa para jurnalis lepas di Gaza.
Kondisi para jurnalis itu kini membuat peliputan di Gaza semakin sulit. "Saya kelelahan dan kehabisan daya, hingga pusing dan terjerembab ke tanah," kata seorang jurnalis senior BBC yang kini harus menjaga ibu, saudara perempuan, dan lima anaknya yang berusia dua hingga 16 tahun.
Situasi sulit selama 21 bulan akibat serangan Israel kini juga telah membuatnya kehilangan berat badan hingga 30 kilogram. "Saya biasanya bisa menyelesaikan sebagian besar liputan dengan cepat, tapi kini melambat akibat kondisi fisik dan mental yang memburuk," ujarnya.
Warga Palestina menanti jatah makanan dari dapur amal di Gaza. Krisis kelaparan terus memburuk di tengah konflik berkepanjangan. (REUTERS/Mahmoud Issa)
"Saya terus merasa kelelahan dan delirium (gangguan mental yang menyebabkan kebingungan dan sulit berkonsentrasi)."
Juru kamera di Gaza selatan menambahkan, "Sulit menggambarkan situasi saat ini."
"Perut saya melilit dan kepala terasa pusing, selain badan yang semakin kurus dan lemas. Saya biasanya bekerja 07.00 hingga 22.00, tapi saat ini mengerjakan satu berita saja nyaris tidak sanggup. Saya merasa pusing."
Harga Kebutuhan Pokok Mahal
Di tengah kekurangan pangan yang terus terjadi selama perang, mereka yang memiliki pendapatan sebelumnya masih bisa membeli kebutuhan pokok meski dengan harga yang sangat mahal. Namun, hal itu kini tak lagi bisa dilakukan dengan mudah lantaran sebagian besar pasar pun kosong.
"Saya sudah ada di titik harus mengambil makanan dari dapur umum. Beberapa hari terakhir anak-anak saya hanya makan satu kali sehari, tapi itu pun seadanya seperti lentil, nasi, dan pasta," kata jurnalis di Gaza yang memiliki empat anak.
Dua dari tiga jurnalis mengatakan, mereka kini terpaksa minum air putih yang dicampur sedikit garam untuk menunda lapar. Salah satu dari mereka terkadang bisa membeli biskuit 50 gram untuk mengganjal perut, kendati harus merogoh kocek 30 shekel (sekitar Rp147.000).
Sementara di sisi lain, perjuangan mendapatkan uang tunai tak kalah menantang. Untuk mendapatkan uang tunai, mereka kini terpaksa menggunakan jasa sekelompok orang yang menyediakan jasa penukaran, pengiriman, atau penarikan secara informal.
Bayi di Gaza meninggal dunia dalam kondisi malnutrisi. (REUTERS/Ramadan Abed)
"Uang tunai hampir tidak tersedia. Kalau pun ada, saya harus membayar ekstra untuk bea penarikan sebesar 45 persen," kata juru kamera di Gaza.
"Artinya, kalau saya menarik $1.000, saya hanya mendapat $500. Proses yang melelahkan apalagi semua penjual kini hanya mau dibayar secara tunai."
"Semua berakar dari bank-bank yang telah tutup. Ini penderitaan kami yang lain setelah kelaparan yang kami lalui," tambah jurnalis yang berbasis di Gaza selatan.
120 Truk Bantuan Masuk ke Gaza
Israel mengklaim lebih dari 120 truk bantuan makanan telah masuk ke Jalur Gaza pada hari pertama jeda pertempuran terbatas yang dijanjikan Israel. Otoritas Israel mengatakan bahwa bantuan makanan itu didistribusikan oleh PBB dan badan kemanusiaan lainnya di Jalur Gaza.
Pada Minggu (27/7) waktu setempat, Israel mengumumkan "jeda taktis" dalam operasi militernya di Jalur Gaza dan berjanji untuk membuka rute aman bagi bantuan kemanusiaan. Tel Aviv mendesak kelompok-kelompok kemanusiaan untuk meningkatkan distribusi makanan di wilayah tersebut.
"Lebih dari 120 truk dikumpulkan dan didistribusikan kemarin oleh PBB dan organisasi-organisasi internasional," sebut COGAT, badan kementerian pertahanan Israel yang mengawasi urusan sipil di wilayah Palestina, dalam pernyataannya, seperti dilansir AFP, Senin (28/7).
"Sebanyak 180 truk tambahan telah memasuki Gaza dan sekarang sedang menunggu pengumpulan dan distribusi, bersama dengan ratusan truk lainnya yang masih mengantre untuk diambil oleh PBB," imbuh pernyataan tersebut.
Ratusan warga Palestina berkumpul di Beit Lahia, Gaza utara, Sabtu (20/7/2025), untuk menerima bantuan kemanusiaan yang berhasil masuk ke wilayah tersebut melalui jalur Israel. Bantuan berupa makanan dan pasokan pokok itu menjadi harapan di tengah krisis kelaparan yang terus memburuk akibat konflik berkepanjangan dan blokade ketat. (REUTERS/Dawoud Abu Alkas)
Secara terpisah, Israel, Yordania dan Uni Emirat Arab telah melakukan penyaluran bantuan via udara (airdrop) dengan menggunakan parasut dalam jumlah yang lebih kecil ke wilayah Jalur Gaza.
Dalam beberapa pekan terakhir, badan-badan PBB telah memperingatkan akan terjadinya kelaparan yang mengancam jiwa seiring menipisnya pasokan bantuan, dan tekanan internasional semakin meningkat untuk gencatan senjata guna memungkinkan operasi penyaluran bantuan secara besar-besaran.
Pemerintah Israel, di bawah PM Benjamin Netanyahu, membantah tuduhan bahwa mereka menggunakan kelaparan sebagai senjata perang. Otoritas Tel Aviv justru menuduh badan-badan bantuan kemanusiaan itu telah gagal dalam mengumpulkan dan mendistribusikan bantuan yang dikirim ke titik-titik perlintasan perbatasan Gaza.
"Pengumpulan dan distribusi yang lebih konsisten oleh badan-badan PBB dan organisasi-organisasi internasional berarti lebih banyak bantuan yang menjangkau orang-orang yang paling membutuhkannya di Gaza," kata COGAT dalam pernyataannya.
(rfs/maa)