Jakarta -
Dunia pendidikan kerap kali tercoreng oleh ulah manusia yang culas dan gemar memilih jalan pintas. Ya, pencatutan nama peneliti luar negeri kembali terjadi dan membuat malu saja para ilmuwan dan intelektual Indonesia yang telah susah payah membangun nama dan kredibilitas di panggung akademik dunia. Pada akhir 2024, seorang peneliti dan dosen di University of New South Wales (UNSW) Canberra yang memiliki kepakaran tentang isu keindonesiaan tiba-tiba muncul sebagai penulis di jurnal Indonesia yang meragukan. Padahal, yang bersangkutan tidak mengenal penulis utama artikel yang terbit di jurnal tersebut.
Belum lama ini, seorang dosen di Universitas Internasional Islam Indonesia (UIII) di Depok juga mengeluhkan hal serupa karena ada seorang koleganya, dosen di luar negeri yang tercatut namanya sebagai penulis jurnal Indonesia. Kedua kasus ini hanyalah contoh kecil dari fenomena yang lebih luas. Banyak jurnal di Indonesia mencantumkan nama-nama peneliti luar negeri secara sepihak, demi terlihat internasional dan mempercepat akreditasi.
Mengapa sebagian kalangan dosen, pengelola perguruan tinggi, dan/atau pengelola jurnal cara befikirnya serba instan dan transaksional? Misalnya, perguruan tinggi butuh dikenal secara global maka semua berlomba-lomba membuat jurnal berbahasa Inggris meskipun terkadang lingkup kajian jurnalnya hanya untuk kalangan lokal atau nasional.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Supaya terlihat distribusi penulisnya beragam maka pengelola jurnal mewajibkan ada penulis dari luar negeri. Cara instan lainnya adalah meningkatkan sitasi dari sebuah karya. Dosen misalnya meminta mahasiswanya untuk mengutip karyanya ketika menulis skripsi atau menulis jurnal. Bahkan ada juga yang membuat MoU antar perguruan tinggi untuk saling mensitasi karya para dosennya.
Untuk meningkatkan jumlah karya publikasi, maka dibuatlah persyaratan lulus S2 atau S3 untuk menerbitkan artikel di jurnal internasional. Dan masih banyak lagi deretan cara instan untuk meraih tujuan meskipun terkadang dengan menerabas etika akademik dan batas-batas kewajaran.
Jika tujuan menulis jurnal adalah supaya karya-karya para dosen Indonesia bisa dibaca oleh pembaca luar negeri, kenapa para dosen tidak didorong saja untuk menulis artikel yang berkualitas dan dikirim ke jurnal internasional ternama supaya karya penelitian bisa dibaca dan disitasi oleh banyak orang bahkan dari luar negeri. Bukan malah memilih menerbitkan artikel yang berkualitas rendah melalui proses seleksi alakadarnya asal terbit jurnal lokal dan berbahasa Inggris. Jika tulisan berkualitas dalam bahasa apapun sebenarnya memungkinkan orang untuk membaca dan mensitasi apalagi di era sekarang mesin penerjemah bisa secara mudah didapatkan secara daring.
Namun, dalang dari semua ini sebenarnya adalah aturan-aturan yang terlalu rigid meskipun awalnya diniati untuk membangun ekosistem akademik yang mumpuni di Indonesia, tetapi justru berakhir pada tujuan sempit pragmatis semata. Misalnya, aturan akreditasi jurnal yang mensyaratkan adanya distribusi penulis yang berasal dari berbagai negara demi mendongkrak naiknya peringkat jurnal di Indonesia mesti ditinjau ulang. Kenapa pengelola jurnal nasional mensyaratkan penulis dari luar negeri? Kenapa pula berlomba-lomba jurnal nasional mengejar indeks scopus? Jurnal nasional yang fokus pada isu-isu lokal Indonesia kenapa pula harus berbahasa Inggris? Pertanyaan-pertanyaan seperti itu sebenarnya sudah lama bergelayut dalam diri penulis.
Bukankah lebih baik jurnal-jurnal nasional lebih mengarusutamakan kualitas dan kredibilitas? Alih-alih mengejar gengsi untuk bertransformasi menjadi jurnal internasional yang terindeks scopus? Pasalnya, nafsu untuk segera "go internasional" belakangan justru memicu para dosen atau peneliti untuk berkompromi dengan tindakan-tindakan yang melanggar etika akademik.
Jika tujuan utama perguruan tinggi membuat jurnal nasional untuk menampung dan mendokumentasi ilmu pengetahuan karya intelektual Indonesia, mengapa tidak fokus saja pada tujuan utama itu dengan cara mengelola jurnal secara profesional dan penuh integritas? Agaknya sebagian orang Indonesia sulit untuk tidak menghindari godaan-godaan pragmatis semata. Untuk mengejar angka kredit, misalnya, para dosen berlomba-lomba mempublikasikan artikel jurnal sebanyak-banyaknya meskipun terkadang mengabaikan kualitas dan etika akademik.
Tentu anggapan ini tidak bisa digeneralisir karena tentu masih ada juga para dosen yang benar-benar menulis artikel jurnal sebagai ungkapan atas proses intelektualnya selama menjalani peran tri dharma perguruan tinggi. Dosen yang benar-benar mendayagunakan intelektualitasnya untuk menulis berdasarkan pengalaman dan juga kedalaman bacaan selama menjalani peran sebagai dosen tentu mampu menghasilkan tulisan yang berkualitas. Dan juga tulisan yang sudah berkualitas tanpa harus terindeks scopus pun misalnya akan banyak yang membaca dan menjadikannya rujukan.
Berbeda dengan tulisan-tulisan dari hasil proyek penelitian dengan tagihan berupa artikel jurnal terbit di berbagai jurnal maka biasanya kualitasnya buruk. Asal bisa terbit di jurnal dan bisa menggugurkan syarat administratif laporan keuangan sudah cukup. Maka dampaknya adalah banyak bermunculan jurnal-jurnal berbayar yang bisa menampung karya-karya para dosen yang kualitasnya diragukan tersebut.
Para pengelola jurnal melihat adanya pasar yang menggiurkan. Bayangkan saja satu artikel untuk bisa terbit jurnal dengan peringkat Sinta 2 bisa dipatok dua juta untuk bisa terbit. Dengan biaya tersebut, jika memang artikel bisa dipastikan terbit dan menggugurkan segala tuntutan kewajiban pemenuhan Beban Kerja Dosen, para dosen pun akhirnya tergiur. Apalagi jika artikel itu adalah bagian dari produk penelitian yang mendapatkan hibah penelitian maka uang dua juta masih dianggap murah. Pengelola jurnal akhirnya tergiur juga untuk semakin menambah jumlah volume dan jumlah artikel untuk sekali terbitnya karena semakin banyak artikel yang terbit maka semakin banyak uang yang bisa diperoleh oleh pengelola jurnal.
Dengan demikian maka tujuan awal dibuatnya jurnal sudah tidak lagi murni untuk pengembangan ilmu pengetahuan, tetapi hanya sebatas meraih pundi-pundi rupiah. Tentu tidak ada larangan untuk membuat dan mengelola jurnal. Namun, jurnal bukanlah satu lembaga bisnis tempat berlangsungnya transaksi jual beli dengan melihat peluang permintaan yang tinggi dan mengharap keuntungan finansial darinya.
Sebaliknya jurnal adalah wadah dimana ilmu pengetahuan dipajang dan memungkinkan satu ilmuwan dengan ilmuwan lain saling berdialektika dan menjalankan mekanisme koreksi diri atau self-mechanism correction meminjam istilah Yuval Noah Harari dalam Nexus (2024). Untuk bisa memungkinkan dialektika dan mekanisme koreksi diri ilmu pengetahuan artikel sebagai hasil kajian yang terbit di sebuah jurnal harus melalui mekanisme peer review yang serius supaya tidak terjebak dalam produksi pengetahuan yang menyesatkan.
Apa jadinya jika jurnal hanya digunakan sebagai lahan transaksi kepentingan: saya butuh artikel terbit di jurnal dan siap membayar dengan syarat prosesnya cepat. Jika sudah semacam itu maka akan kacaulah ekosistem akademik yang sehat. Tidak ada lagi kontrol mutu yang ada hanyalah transaksi kepentingan. Jadi sudahilah praktik-praktik culas dalam penjurnalan nasional. Kembalilah kepada jalan yang benar dengan mengelola jurnal yang penuh integritas dan memegang erat kaidah etika akademik.
Mungkin perlu belajar dari media massa arus utama yang benar-benar memfungsikan tata kelola penerbitan karya yang tidak menerima pesanan-pesanan untuk menerbitkan artikel opininya di media mainstream tersebut. Juga, kembalilah pada pengelolaan jurnal secara organik dalam artian tidak perlu harus buru-buru mengejar peningkatan peringkat akreditasi jurnal dalam waktu sesingkat-singkatnya. Lebih baik mengelola jurnal secara wajar dan normal saja tidak harus mengejar gengsi untuk go internasional.
Belajar dari pengelola jurnal yang telaten misalnya dalam bidang bahasa Inggris ada TEFLIN Journal dan beberapa jurnal lainnya yang berproses secara konsisten mengelola jurnal dengan penuh integritas. Sekarang jurnal-jurnal tersebut sudah terindeks scopus dan banyak juga penulis luar negeri yang tertarik untuk menerbitkan ke TEFLIN Journal meskipun tidak diminta apalagi mencatut nama penulis dari luar negeri.
Semoga ke depan, tidak ada lagi pencatutan nama peneliti luar negeri di jurnal Indonesia. Sudah saatnya kita menjunjung etika dan menjadikan jurnal ilmiah sebagai cermin integritas dunia akademik kita.
Waliyadin. Dosen FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta; Mahasiswa PhD di University of Canberra
(imk/imk)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini