Jakarta -
Pengacara Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto, Febri Diansyah mencecar ahli hukum pidana dari Universitas Gadjah Mada (UGM), Muhammad Fatahillah Akbar soal kewenangan KPK dalam melakukan penyadapan. Febri menanyakan apakah penyadapan KPK sah jika tidak mendapat izin Dewan Pengawas (Dewas) KPK.
Fatahillah Akbar dihadirkan jaksa KPK sebagai ahli dalam sidang kasus dugaan suap dan perintangan penyidikan, terdakwa Hasto Kristiyanto di Pengadilan Tipikor Jakarta, Kamis (5/6/2025). Mulanya, Febri bertanya ke Fatah soal sejak kapan kewenangan KPK melakukan penyadapan.
"Yang saudara ahli ketahui, kewenangan KPK untuk melakukan penyadapan itu sudah sejak kapan?" tanya Febri.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Seharusnya yang saya ingat ya, kalau di dalam perubahan 19 tahun 2019 itu kan penyadapan KPK timbul, kemudian harus izin kepada Dewas. Tapi kemudian pasal tersebut dibatalkan dan diubah cukup dengan pemberitahuan, tapi karena dia dilahirkan sejak 30 tahun 2002 itu sudah ada kewenangan tersebut. Nanti coba bisa dikoreksi ya," jawab Fatah.
Febri menyoroti kewenangan penyadapan KPK berbeda dengan kepolisian dan kejaksaan. Dia mengatakan dalam UU KPK, proses penyadapan bisa dilakukan sejak tahap penyelidikan.
"Memang agak berbeda ya di UU KPK, penyadapan itu bisa dilakukan sejak proses penyelidikan. Di tahapan maksud saya, confirm ya saudara ahli ya. Sejak tahap penyelidikan sudah bisa melakukan penyadapan tentu di penyidikan dan penuntutan bisa. Agak berbeda ya dengan kepolisian dan Kejaksaan, atau bagaimana menurut ahli?" tanya Febri.
"Ya karena sejatinya upaya paksa itu, ini kan masuk upaya paksa. Upaya paksa itu kan seharusnya sudah pro justitia," jawab Fatah.
"Berarti kalau KPK melakukan penyadapan di tahap penyelidikan, itu sah atau tidak sah?" tanya Febri.
"Ya karena diperbolehkan dalam undang-undang itu sah," jawab Fatah.
Febri lalu menyinggung putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang membatalkan kewajiban izin Dewas untuk KPK melakukan penyadapan. Fatah mengatakan KPK tidak perlu lagi mendapat izin tertulis dari Dewas, tapi sifatnya memberitahukan.
"Tadi suaudara ahli menyebut Undang-Undang 19 tahun 2019 ya, di Pasal 12 B itu kan disebut penyadapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat 1 dilaksanakan setelah mendapat izin tertulis dari Dewan Pengawas. Tapi kemudian dibatalkan di Mahkamah Konstitusi, kapan dibatalkannya itu saudara ahli?" tanya Febri.
"Putusan MK tahun 2020 kayaknya ya, 2021, saya agak lupa tapi putusan MK, 2023 ya mungkin ya. Jadi putusan itu membatalkan karena Dewas bukan lembaga pro justitia, sehingga cukup dengan pemberitahuan," jawab Fatah.
"Berarti setelah putusan MK, ke depan, nggak perlu lagi penyadapan KPK izin Dewas begitu ya?" cecar Febri.
"Tapi perlu memberitahukan," jawab Fatah.
Febri menanyakan apakah dalam kurun 2019, KPK membutuhkan izin Dewas untuk melakukan penyadapan. Fatah mengatakan dalam kurun waktu itu, penyadapan tidak sah jika tak mendapatkan izin dari Dewas.
"Kalau sebelum 2023 sampai dengan 2019 berarti memberitahukan atau memperoleh izin dewas?" tanya Febri.
"Ya seharusnya mendapatkan izin ya," jawab Fatah.
"Kalau tidak ada izin Dewas sah nggak bukti penyadapan itu?" tanya Febri.
"Di dalam konteks ini kalau tidak menggunakan izin tersebut ya tidak sah," jawab Fatah.
"Jangan ragu-ragu saudara ahli. Saya mundur sedikit nih, tadi kan disebut KPK berwenang melakukan penyadapan di tahap penyelidikan, penuntutan, dan seterusnya. Kalau penyelidikannya dilakukan sejak tanggal 20 Desember tahun 2019. Sementara Undang-Undang 19 ini diundangkan tanggal 17 Oktober 2019, artinya sebelum ya. Wajib tunduk nggak proses penyadapan yang dimulai di penyelidikan 20 Desember itu dengan Undang-Undang ini, Undang-Undang KPK?" cecar Febri.
"Ya kalau dia dimulainya setelah Undang-Undang KPK ya tunduk," jawab Fatah.
"Wajib tunduk ya?" tanya Febri.
"Iya," jawab Fatah.
KPK sebelumnya mendakwa Hasto merintangi penyidikan kasus dugaan suap dengan tersangka Harun Masiku. Hasto disebut menghalangi KPK menangkap Harun Masiku, yang jadi buron sejak 2020.
"Dengan sengaja telah melakukan perbuatan mencegah, merintangi, atau menggagalkan secara langsung atau tidak langsung penyidikan terhadap Tersangka Harun Masiku," kata jaksa saat membacakan dakwaan dalam sidang di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat.
Selain itu, Hasto didakwa menyuap mantan komisioner KPU Wahyu Setiawan Rp 600 juta. Jaksa mengatakan suap itu diberikan agar Wahyu Setiawan mengurus penetapan pergantian antarwaktu (PAW) anggota DPR periode 2019-2024 Harun Masiku.
Hasto didakwa memberi suap bersama-sama orang kepercayaannya, Donny Tri Istiqomah dan Saeful Bahri, kemudian juga Harun Masiku. Donny saat ini sudah ditetapkan sebagai tersangka, lalu Saeful Bahri telah divonis bersalah dan Harun Masiku masih menjadi buron.
"Memberi atau menjanjikan sesuatu, yaitu Terdakwa bersama-sama Donny Tri Istiqomah, Saeful Bahri, dan Harun Masiku telah memberi uang sejumlah SGD 57.350 atau setara Rp 600 juta kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara, yaitu kepada Wahyu Setiawan selaku anggota Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia (KPU RI) periode 2017-2022," kata jaksa, Jumat (14/3).
(mib/idn)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini