Dispensasi Kawin Celah Legalisasi Kekerasan Seksual Anak

8 hours ago 5

Jakarta -

Perkawinan anak di bawah umur merupakan persoalan serius yang masih mengakar kuat dalam masyarakat Indonesia. Meskipun Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 telah menaikkan batas usia minimal perkawinan menjadi 19 tahun bagi laki-laki dan perempuan, pada kenyataannya praktik perkawinan anak masih terus marak terjadi melalui celah hukum (legal loophole) berupa permohonan dispensasi kawin ke pengadilan. Dispensasi kawin pada dasarnya adalah pengecualian hukum, akan tetapi, dalam praktiknya justru sering kali digunakan untuk melegitimasi praktik perkawinan anak yang dilatarbelakangi oleh faktor budaya, ekonomi, maupun kehamilan di luar nikah.

Perubahan usia minimal perkawinan dalam UU Nomor 16 Tahun 2019 (revisi UU Perkawinan No. 1 Tahun 1974) telah menetapkan usia minimum menikah bagi laki-laki dan perempuan adalah 19 tahun. Perubahan usia minimal perkawinan menjadi 19 tahun bagi pria dan wanita sebuah langkah konstitusional dan progresif yang merefleksikan semangat keadilan substantif dalam hukum keluarga Indonesia.

Kedewasaan dan Kematangan fisik dan mental merupakan hal yang sangat urgen untuk melakukan perkawinan dan membentuk sebuah keluarga. (Siti Zubaidah, badilag.mahkamahagung.go.id, 2017)

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Putusan MK No. 22/PUU-XV/2017 tidak hanya menegaskan prinsip kesetaraan gender sebagai bagian dari hak konstitusional warga negara, tetapi juga menegaskan kewajiban negara untuk melindungi hak anak secara konkret melalui reformasi kebijakan. Sebab itu, ketentuan ini masih memberikan ruang bagi praktik perkawinan di bawah umur melalui mekanisme dispensasi kawin yang diatur dalam Pasal 7 ayat (2) UU Perkawinan. Dalam praktiknya muncul paradoks implementasi, permohonan dispensasi kawin meningkat dari setiap tahun ke tahun, dengan alasan utama kehamilan di luar nikah. Mahkamah Konstitusi, telah memainkan peran penting sebagai penjaga konstitusi dan pelindung hak-hak dasar warga negara, serta UU No. 16 Tahun 2019 adalah bagian implementasi penting dari putusan tersebut. Jika pelaksanaannya tanpa komitmen kultural dan politik yang konsisten, perubahan hukum ini bisa menjadi hanya sebatas simbol normatif tanpa dampak nyata.

Akhirnya, terhadap fenomena ini telah menimbulkan dilema hukum dan sosial, khususnya jika dikaitkan dengan perlindungan anak dan perempuan. Dispensasi kawin yang diberikan oleh pengadilan sering kali tidak mempertimbangkan aspek relasi kuasa, kerentanan anak, dan potensi terjadinya kekerasan seksual. Dalam hal ini menjadi semakin problematik apabila dikaji dari perspektif Undang-Undang No. 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) yang mengatur secara tegas mengenai perlindungan anak dari kekerasan seksual, eksploitasi, dan pemaksaan hubungan seksual.

UU TPKS memposisikan hubungan seksual dengan anak di bawah usia 18 tahun sebagai bentuk kekerasan seksual, apalagi jika terjadi dalam kondisi relasi tidak setara. Namun, praktik dispensasi kawin berpotensi melegalkan hubungan seksual dengan anak atas dasar pernikahan, yang justru berseberangan dengan semangat UU TPKS. Dalam permasalahan ini, hadirnya Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) Nomor 5 Tahun 2019 sebagai upaya pembaruan hukum yang menempatkan perlindungan anak sebagai fokus utama.

Perma ini bertujuan membatasi penyalahgunaan kewenangan serta memastikan bahwa keputusan yang diambil benar-benar mempertimbangkan kepentingan terbaik bagi anak. Oleh karena itu, pertanyaan penting yang muncul adalah sejauh mana Perma ini efektif dalam membendung laju perkawinan anak? Apakah mekanisme dispensasi masih relevan dengan semangat perlindungan anak sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) atau regulasi perlindungan anak lainnya?

Permohonan dispensasi kawin seringkali digunakan sebagai solusi "legal" untuk menutupi tindak pidana kekerasan seksual, khususnya pada kasus kehamilan remaja. Alih-alih memberikan perlindungan hukum terhadap anak sebagai korban, negara justru memberikan legitimasi hukum terhadap hubungan yang patut diduga sebagai hasil kekerasan seksual. Ini menciptakan anomali hukum, di mana pelaku tidak hanya bebas dari proses pidana, tetapi juga memperoleh pengakuan sosial dan hukum melalui institusi perkawinan.

Menurut penulis, dispensasi kawin bisa berpotensi menjadi celah legalisasi kekerasan seksual terhadap anak. Ini menimbulkan persoalan yang serius dalam sistem hukum nasional, terutama dalam hal harmonisasi regulasi antara UU Perkawinan, UU TPKS, dan UU Perlindungan Anak. Dibutuhkan kajian yang mendalam untuk melihat bagaimana mekanisme dispensasi kawin dapat bertentangan dengan semangat perlindungan anak dan pencegahan kekerasan seksual. Lebih jauh lagi, mekanisme dispensasi kawin bisa dianggap bertentangan secara prinsipil dengan semangat UU TPKS, yang menekankan pencegahan segala bentuk kekerasan seksual dan eksploitasi terhadap anak, termasuk melalui praktik pernikahan yang menormalisasi relasi kuasa yang timpang.

Pertama, inkonsistensi hukum antara UU Perkawinan dan UU TPKS.
Dispensasi kawin memberikan legitimasi formal terhadap pernikahan anak yang, menurut UU TPKS, berpotensi mengandung unsur kekerasan seksual, terutama jika anak tidak memiliki persetujuan yang bebas dan sadar.

Kedua, legalisasi kekerasan seksual melalui jalur peradilan dan kurangnya perspektif perlindungan anak dalam putusan dispensasi kawin. Majelis hakim sering kali mempertimbangkan dengan alasan "kemaslahatan", "aib keluarga", atau "kehamilan" tanpa menggali lebih dalam aspek paksaan, kerentanan, atau potensi eksploitasi seksual terhadap anak.

Ketiga, masih minimnya evaluasi atas efektivitas dispensasi dalam menjamin kesejahteraan anak. Tidak ada mekanisme pengawasan yang efektif pasca pernikahan untuk memastikan bahwa anak perempuan yang dinikahkan melalui dispensasi terbebas dari eksploitasi dan memiliki kualitas hidup yang layak.

Kemudian, lahirnya Perma No. 5 Tahun 2019 yang diinisiasi oleh Kelompok Kerja (Pokja) Perempuan dan Anak MA-RI adalah sebagai pedoman (guidelines) bagi para hakim dalam memeriksa perkara permohonan dispensasi kawin bertujuan untuk mengatur secara rinci hal-hal yang diperlukan bagi kelancaran peradilan karena belum diatur secara tegas dan rinci dalam peraturan perundang-undangan. (Lelita Dewi, ptakepri.go.id, 2024)

Peraturan tersebut adalah sebuah langkah yang penting dalam upaya pencegahan perkawinan anak di Indonesia. Dengan menetapkan prosedur yang ketat dan berfokus pada perlindungan hak anak. Mahkamah Agung mendorong hakim agar lebih selektif dan berpihak pada kepentingan terbaik untuk anak, bukan semata-mata memenuhi atas kehendak orang tua atau tekanan sosial. Karena hal ini mewajibkan pertimbangan psikologis, kesehatan reproduksi, keberlanjutan pendidikan, hingga potensi risiko kekerasan dalam rumah tangga sebagai dasar penolakan atau pemberian dispensasi kawin.

Dalam hal ini menunjukkan adanya pergeseran paradigma: dari pendekatan administratif menjadi pendekatan perlindungan anak yang berbasis hak asasi manusia. Perkara dispensasi kawin karena kehamilan di luar nikah bukan hanya sekadar fenomena hukum, akan tetapi, merupakan sebuah alarm sosial atas kegagalan kolektif: hukum, pendidikan, keluarga, dan masyarakat. Tanpa upaya struktural untuk menyelaraskan aturan hukum dengan kondisi sosial dan budaya, regulasi perlindungan anak hanya akan menjadi teks tanpa daya paksa di tengah realitas yang jauh lebih kompleks.

Dari semua permasalahan tersebut, meskipun masih ada tantangan dalam implementasinya, seperti lemahnya pengawasan dan budaya masyarakat yang permisif terhadap perkawinan dini. Perma ini menjadi acuan kerangka penting yang harus didukung oleh semua pemangku kepentingan, termasuk pengadilan, lembaga pendidikan, tokoh agama, dan publik.

Fahmi Aziz, Ketua Remaja Assyabaab 2021-2023, Kepaniteraan Hukum Pengadilan Agama Tangerang, Alumni Hukum Tata Negara Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

(imk/imk)

Loading...

Hoegeng Awards 2025

Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini

Read Entire Article
Koran | News | Luar negri | Bisnis Finansial