Jakarta -
BPJS Kesehatan meluncurkan Open Call for Research Proposal Tahun 2025 dalam rangka penguatan Program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Kegiatan ini juga menjadi agenda BPJS Kesehatan untuk mengembangkan kebijakan sekaligus wadah bagi akademisi, peneliti, dan praktisi untuk berkontribusi terhadap pembangunan sistem kesehatan nasional.
Direktur Utama BPJS Kesehatan, Ghufron Mukti menyampaikan Open Call for Research Proposal Tahun 2025 merupakan ajang kompetisi ilmiah tahunan yang terbuka bagi peneliti dari universitas maupun lembaga non-perguruan tinggi. Kegiatan ini juga menjadi bagian dari rangkaian HUT ke-57 BPJS Kesehatan.
"Animo dari kalangan akademisi terhadap program ini sangat tinggi. Ratusan proposal masuk setiap tahun, mencerminkan atensi besar dunia riset terhadap keberlangsungan Program JKN," ujar Ghufron dalam keterangan tertulis, Senin (16/6/2025).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ia menjelaskan hasil riset yang didanai melalui kompetisi ini akan menjadi dasar pengambilan kebijakan yang lebih tepat sasaran dan responsif terhadap tantangan pengelolaan Program JKN ke depan.
Sementara itu, Anggota Dewan Pengawas BPJS Kesehatan Inda Deryanne Hasman memberikan dukungan terhadap kegiatan ini. Ia menyampaikan kolaborasi antara BPJS Kesehatan dan dunia riset penting dalam memastikan keberlanjutan program.
"Kami meyakini bahwa hasil riset, kajian, dan ilmu pengetahuan yang memberikan manfaat nyata bagi masyarakat harus disebarluaskan. Hasil-hasil kajian ini diharapkan dapat menjadi referensi bagi berbagai pihak dalam pengambilan keputusan strategis," ucap Inda.
Pada kegiatan ini, dilakukan juga Diseminasi Kajian Tahun 2024, yang menampilkan hasil-hasil riset strategis yang telah dilakukan sepanjang tahun lalu. Adapun hasil tiga kajian yang telah dilakukan tahun 2024 diantaranya Studi Kelayakan Program Long Term Care (LTC) Insurance untuk Peserta Pekerja Penerima Upah (PPU) Lanjut Usia Melalui Skema JKN; Kajian Karakteristik dan Kemampuan-Kemauan Membayar Iuran dengan Status Keaktifan Peserta Pekerja Bukan Penerima Upah (PBPU) pada Program JKN; dan Feasibility Study Alternatif Penerapan Model Urun Biaya Pada Peserta JKN.
"Diseminasi ini menjadi sarana pertanggungjawaban sekaligus ruang kolaborasi, agar hasil riset ini tidak sekedar diteliti, namun menjadi dasar kebijakan yang nyata. Kita mengajak semua pemangku kepentingan untuk ikut memperkaya diskusi dan menindaklanjuti rekomendasi yang lahir dari penelitian ini," papar Direktur Perencanaan dan Pengembangan BPJS Kesehatan, Mahlil Ruby.
Pada kesempatan yang sama, Anggota Komisi IX DPR RI, Edy Wuryanto menekankan pentingnya penguatan riset untuk optimalisasi JKN.
Ia juga menanggapi diseminasi tiga kajian yang dilakukan BPJS Kesehatan di tahun 2024. Salah satunya kebijakan seperti urun biaya yang perlu dikaji lebih mendalam secara ilmiah agar implementasinya tepat sasaran.
"Urun biaya perlu dilihat bukan hanya dari sisi pengendalian moral hazard, tapi juga sebagai instrumen menjaga rasio klaim yang kini sudah di atas 100%. Namun tetap harus mempertimbangkan kemampuan masyarakat dan benchmark dengan negara lain," ungkap Edy.
Edy juga mendukung agar layanan long term care (LTC) masuk dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN). Meski pembiayaannya dinilai kompleks, ia menilai hal ini penting untuk memperjuangkan hak hidup sehat bagi lansia di Indonesia.
"LTC harus mulai dimasukkan ke dalam RPJMN. Beberapa negara Asia Tenggara sudah lebih dulu melaksanakannya, kita jangan sampai tertinggal dalam menjamin kesejahteraan lansia," katanya.
Terkait tantangan keaktifan peserta JKN, Edy menyebut persoalan bukan semata soal ketidakmampuan, tetapi juga keengganan membayar dari kelompok yang sebenarnya mampu. Untuk itu, ia mendorong penguatan sanksi berbasis pelayanan publik dan integrasi dengan sistem perbankan.
Merespons hasil tiga kajian strategis BPJS Kesehatan pada tahun 2024, Anggota Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) Nicodemus Beriman Purba mengatakan pentingnya membangun sistem long term care (LTC) sejak dini.
"Kita perlu menentukan apakah LTC akan menjadi manfaat dasar atau tambahan. LTC ini berpotensi penyempurnaan pada program jaminan sosial di masa mendatang khususnya JKN. Namun, tetap mempertimbangkan kontribusi tambahan seperti iuran, karena biaya LTC tidak murah," ucapnya.
Dari segi pembiayaan, Nico pun menyoroti pentingnya penyesuaian iuran yang proporsional terhadap pendapatan peserta, terutama seiring meningkatnya jumlah peserta dari segmen Pekerja Penerima Upah (PPU) dan Pekerja Bukan Penerima Upah (PBPU). "Apabila dilakukan penyesuaian iuran, maka harus tetap menjunjung prinsip keadilan dan proporsional," tambah .
Namun terkait dengan urun biaya, ia menegaskan skema tersebut bukan dirancang sebagai solusi atas tantangan fiskal, melainkan sebagai mekanisme pengendalian potensi moral hazard pada penggunaan layanan kesehatan.
"Skema urun biaya harus difokuskan untuk layanan dengan potensi moral hazard tinggi, bukan sebagai instrumen fiskal. Kebijakan ini pun tetap harus mempertimbangkan kemampuan masyarakat dan disusun berdasarkan kajian yang kuat," pungkas Nico.
Sebagai informasi, BPJS Kesehatan melakukan berbagai kajian yang mencakup lima kategori utama: mutu layanan, perluasan kepesertaan, kesinambungan finansial, engagement, dan penguatan kapabilitas institusi. Total 218 kajian telah dihasilkan sejak 2014 hingga 2022, yang banyak berkontribusi pada pengembangan kebijakan dalam Program JKN maupun perbaikan internal BPJS Kesehatan.
Turut hadir dalam kegiatan tersebut Anggota Komisi IX DPR RI Edy Wuryanto, Anggota Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) Nicodemus Beriman Purba, Staf Ahli Bidang Sosial dan Penanggulangan Kemiskinan Bappenas Pungkas Bahjuri Ali, Direksi dan Dewas BPJS Kesehatan serta peneliti jaminan sosial seperti Prof. Budi Hidayat, Prof. Dr. Atikah Adyas dan dr. Hasbullah Thabrany.
(akd/akd)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini