Bertahan dan Bertumbuh di Era Digital yang Makin Cair

2 days ago 13

Jakarta -

Kita hidup di era digital—sebuah periode yang tak terbantahkan membawa kemudahan, percepatan, dan interkonektivitas global. Namun, di balik kemudahannya, era ini juga melahirkan tantangan eksistensial: identitas, pekerjaan, dan masa depan individu kini menjadi semakin cair, tidak pasti, dan rentan.

Perubahan ini, yang bertindak sebagai katalisator, mengaburkan batas-batas realitas dan mempercepat fluiditas dalam berbagai aspek kehidupan. Akibatnya, muncul kecemasan baru yang lebih mendalam dan menyebar luas.

Tulisan ini mencoba menguraikan bagaimana era digital memperparah kecemasan dan ketidakpastian yang telah diwariskan dari era "modernitas cair" (liquid modernity), sekaligus menimbang: haruskah kita melawan fluiditas ini atau justru memeluknya secara adaptif dan inovatif?

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Modernitas Cair: Fondasi Ketidakpastian Baru

Era digital memiliki kemiripan yang kuat dengan gagasan "modernitas cair" dari Zygmunt Bauman. Dalam bukunya Liquid Modernity (2000), Bauman menggambarkan masyarakat kontemporer sebagai dunia yang kehilangan struktur tetap—segalanya mengalir, berubah cepat, dan sulit digenggam.

Berbeda dari "modernitas padat" (solid modernity), yang ditandai oleh stabilitas, institusi yang kokoh, dan struktur sosial yang jelas, "modernitas cair" menyuguhkan kondisi sosial yang serba fleksibel namun rapuh. Nilai-nilai kekeluargaan, pekerjaan tetap, bahkan identitas nasional yang dulunya menjadi jangkar kini mulai luntur. Dunia menjadi seperti air: mengalir, sulit dibentuk, dan terus bergerak.

Teknologi, globalisasi, dan kapitalisme konsumen mempercepat proses ini. Bauman telah memperingatkan: pekerjaan, identitas, bahkan masa depan kini bersifat sementara. Dan era digital datang bukan untuk menyembuhkan keresahan itu, tetapi justru mempercepatnya.

Dampak Fluiditas

Hari ini, pekerjaan tidak lagi menjadi jangkar kehidupan. Model kontrak jangka pendek, ekonomi gig, hingga startup yang muncul dan hilang dengan cepat adalah norma baru. Laporan World Economic Forum (2025) memperkirakan hilangnya beberapa jenis pekerjaan dalam lima tahun ke depan, seperti teller bank, kasir, petugas layanan pos, dan bahkan desainer grafis.

Di sisi lain, identitas pun menjadi labil. Media sosial memungkinkan seseorang memamerkan persona berbeda di tiap platform: profesional di LinkedIn, hedonis di Instagram, dan kritis di X. Identitas bukan lagi tunggal dan statis, melainkan multifaset dan berubah tergantung konteks.

Era digital bukan sekadar fenomena baru—ia adalah akselerator dari modernitas cair. Kecemasan yang dulunya samar kini menjelma nyata dan konkret.

Manifestasi Konkret di Era Digital

Pertama, media sosial menjadi arena utama pembentukan identitas yang cair. Momen-momen yang dikurasi menciptakan tekanan untuk terus tampil sempurna, memunculkan fenomena FOMO (fear of missing out), dan memperkuat rasa "tidak cukup." Kita hidup dalam masyarakat konsumen yang menuntut pencitraan terus-menerus.

Penelitian Arum Ratna Dewi (BMC Public Health, 2021) mengungkapkan dampak jangka panjang dari keterpaparan anak-anak terhadap standar sukses "semu" di internet—sebuah kecemasan yang berakar sejak usia dini.

Kedua, banjir informasi hiper-cepat memicu kebingungan dan kegelisahan. Siklus berita tanpa henti, sering kali bombastis tanpa verifikasi, menimbulkan ketidakpastian akan kebenaran. Contohnya: hoaks penghapusan pelajaran agama sempat menimbulkan kepanikan publik.

Ketiga, budaya kerja always-on menimbulkan kelelahan mental (burnout). Batas antara pekerjaan dan kehidupan personal makin kabur. Survei Lembaga Penelitian Kesehatan Mental (rri.co.id, 30 Desember 2024) menyebutkan 60% pekerja Indonesia mengalami gejala burnout, seperti depersonalisasi dan kelelahan emosional.

Keempat, budaya cancel menciptakan ketidakamanan eksistensial. Satu pernyataan bisa menghancurkan reputasi yang dibangun bertahun-tahun. Figur publik seperti Deddy Corbuzier dan Rachel Vennya pernah mengalaminya. Solidaritas digital bisa hadir sekejap, lalu menghilang, meninggalkan kehampaan bagi korban.

Strategi Bertahan dan Bertumbuh

Menolak fluiditas adalah hal yang sia-sia. Yang bisa kita lakukan adalah menyikapinya secara bijak, adaptif, dan inovatif.

Pertama, pembatasan dan pendampingan penggunaan media sosial. Pemerintah perlu mendorong pembatasan usia, dan orang tua harus menjadi pendamping aktif. Orang tua perlu mengajak anak unfollow akun-akun yang memberi pengaruh negatif, dan ajarkan selektivitas digital.

Kedua, digital detox. Kita perlu mengambil jeda dari layar. Lebih baik berinteraksi secara langsung dengan keluarga dan teman. Mari menikmati dunia nyata. Mari rekatkan kembali koneksi sosial yang sejati.

Ketiga, peningkatan literasi digital. Pendidikan dan kampanye publik harus menanamkan pemahaman etis dan kritis dalam penggunaan teknologi. Literasi digital bukan sekadar keterampilan teknis, tetapi juga kesadaran sosial.

Keempat, penguatan spiritualitas dan refleksi batin. Meditasi, doa, dan praktik keagamaan dapat membantu seseorang tetap "hadir" dan tidak terlarut dalam arus digital yang melenakan.

Kelima, pengembangan kompetensi digital. Mari fokus pada keterampilan abad ke-21: berpikir kritis, kreativitas, kemampuan adaptasi, pengelolaan waktu, dan literasi teknologi. Generasi muda harus dibekali agar tidak hanya bertahan, tetapi mampu bersaing dan berkembang.

Penutup

Era digital bukanlah bencana, tetapi realitas baru. Seperti air yang mengalir, dunia kita tidak akan kembali ke bentuk lama yang kokoh dan pasti. Tetapi seperti perahu yang dibentuk untuk mengarungi air, kita pun bisa membentuk diri agar tak tenggelam dalam kecairan ini.

Kita perlu membangun keteguhan dari dalam—melalui literasi, spiritualitas, komunitas, dan keterampilan hidup. Dengan itu, kita tidak hanya bertahan di era digital yang makin cair, tetapi juga tumbuh, menemukan arah, dan menciptakan makna yang baru.

Pormadi Simbolon, alumnus Pascasarjana STF Driyarkara, penulis buku Pemikiran Zygmunt Bauman (Kanisius, 2024)

Simak juga Video: Komdigi-Tony Blair Institute Kerja Sama Dukung Transformasi Digital Indonesia

(imk/imk)

Loading...

Hoegeng Awards 2025

Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini

Read Entire Article
Koran | News | Luar negri | Bisnis Finansial