Yusril Sebut Daud Beureueh Bukan Pemberontak, Dukung Jadi Pahlawan Nasional

6 hours ago 2

Jakarta -

Menteri Koordinator (Menko) Bidang Hukum, HAM, Imigrasi, dan Pemasyarakatan Yusril Ihza Mahendra mendukung usulan masyarakat Aceh agar Teungku Muhammad Daud Beureueh dicalonkan sebagai Pahlawan Nasional. Yusril menyebut Daud Beureueh memiliki peran melawan Belanda dan Jepang di era perjuangan kemerdekaan.

Pernyataan itu disampaikan Yusril saat memberikan pidato kunci dalam Seminar Nasional Teungku Daud Beureueh di Anjong Mon Mata, Banda Aceh, Kamis (10/7/2025) malam. Yusril mengatakan Daud Beureueh memiliki peran sentral dalam mendukung kemerdekaan RI dan menegaskan Aceh sebagai bagian dari Republik Indonesia.

"Tidak semua tokoh di Aceh gembira dengan Proklamasi Kemerdekaan RI 17 Agustus 1945. Sebagian ingin Aceh menjadi negara sendiri, sebagian malah ingin tetap di bawah penjajahan Belanda. Daud Beureueh berjuang habis-habisan mempertahankan Proklamasi Kemerdekaan RI baik secara politik, militer, maupun diplomasi," tegas Yusril.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Yusril menjelaskan bahwa keinginan Daud Beureueh agar Aceh menjadi provinsi sendiri dengan keistimewaannya disetujui oleh Bung Karno saat berkunjung ke Aceh awal tahun 1946. Karena itu, pada masa Revolusi, Daud Beureueh diangkat sebagai Gubernur Militer Aceh, Langkat, dan Tanah Karo dengan pangkat tituler Mayor Jenderal TNI.

Provinsi Aceh akhirnya dibentuk melalui Keputusan Wakil Perdana Menteri RI untuk Sumatera yang berkedudukan di Kutaraja dengan Peraturan Darurat Wakil Perdana Menteri yang diteken Mr. Sjafruddin Prawiranegara. Daud Beureuh otomatis dikukuhkan menjadi Gubernur Aceh.

Namun pada 1950, Peraturan Darurat tersebut tidak disetujui Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) dan Menteri Dalam Negeri saat itu, Mr. Susanto Tirtoprodjo dari PNI, sehingga peraturan itu harus dicabut dan Aceh diintegrasikan menjadi bagian dari Provinsi Sumatera Utara.

"Celakanya, pencabutan Keputusan Darurat Wakil Perdana Menteri Sjafruddin itu harus dilaksanakan oleh Perdana Menteri RI yang baru, Mohammad Natsir, padahal baik Sjafruddin, Natsir, maupun Daud Beureueh semuanya adalah tokoh Partai Masyumi," jelas Yusril.

Menurut Yusril, saat itu Natsir menghadapi dilema luar biasa untuk melaksanakan putusan KNIP, sehingga memutuskan berangkat ke Aceh untuk menemui Daud Beureueh.

Saat Natsir mendarat di Aceh, Daud Beureueh telah menyingkir ke luar kota karena sehari sebelumnya beliau telah mengumumkan perlawanan dan pembangkangan terhadap pemerintah pusat di Jakarta.

Natsir sangat memahami kekecewaan Daud Beureueh atas pembubaran Provinsi Aceh dan ingin agar provinsi tersebut dibentuk kembali bersamaan dengan pembentukan provinsi lain. Hal ini disampaikan Natsir dalam pidato di depan masyarakat Aceh yang berdatangan ke Pendopo Gubernur, yang diterjemahkan Osman Raliby ke dalam Bahasa Aceh. Natsir juga menitipkan pesan kepada Daud Beureueh melalui Osman Raliby agar menahan diri dari perlawanan.

Namun, Daud Beureueh menjawab bahwa nasi sudah menjadi bubur. Beliau telah menyingkir dari ibu kota Aceh, Kutaraja, dan masuk hutan untuk melakukan perlawanan, meskipun saat itu beliau belum mengumumkan berdirinya DI/TII, yang baru dilakukan pada 1953.

Walaupun Provinsi Aceh kembali terbentuk pada 1956 dan dipisahkan dari Sumatera Utara, Daud Beureueh telah kehilangan kepercayaan kepada pemerintah pusat. Belakangan, DI/TII Aceh yang dipimpinnya menyatakan bergabung dengan PRRI dan RPI (Republik Persatuan Indonesia) sebagai gabungan PRRI-Permesta pada 1958.

"Dari fakta-fakta sejarah itu, Daud Beureueh mestinya tidak dianggap sebagai pemberontak yang ingin memisahkan Aceh dari NKRI. Beliau seorang Republiken yang kecewa dengan janji-janji yang tak kunjung diwujudkan para pemimpin di pusat," ujar Yusril.

Yusril menegaskan, sejarah tentang Daud Beureueh perlu ditulis ulang. "Beliau adalah pejuang RI sejati, jasa-jasanya tak ternilai bagi bangsa dan negara, sehingga sudah saatnya beliau diangkat menjadi Pahlawan Nasional," kata Yusril.

Ia menambahkan, Natsir dan Sjafruddin Prawiranegara pada era Orde Lama dan Orde Baru juga pernah dianggap pemberontak PRRI. Namun setelah dikaji ulang, mereka sejatinya bukan pemberontak untuk memecah belah bangsa, melainkan melakukan koreksi atas kebijakan pemerintah pusat dalam menerapkan Demokrasi Terpimpin yang memberi ruang kepada kaum komunis untuk masuk ke pemerintahan.

"Akhirnya, Presiden SBY meneken Keputusan Presiden yang memberikan gelar Pahlawan Nasional kepada Natsir dan Sjafruddin Prawiranegara," tutup Yusril.

Ia berharap hal yang sama dapat dilakukan terhadap Teungku Muhammad Daud Beureueh.

(fca/imk)

Loading...

Hoegeng Awards 2025

Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini

Read Entire Article
Koran | News | Luar negri | Bisnis Finansial