Pakar di Sidang MK: Penjual Pecel Lele di Trotoar Bisa Kena UU Tipikor

6 hours ago 4

Jakarta -

Ahli Hukum Chandra M Hamzah memandang ketentuan Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 yang termuat dalam Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) bisa menimbulkan masalah. Chandra menyebut penafsiran yang salah terkait isi pasal tersebut bisa menjerat penjual pecel lele di trotoar.

Hal tersebut disampaikan Chandra dalam sidang pengujian materiil Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) sebagaimana telah diubah dengan UU 20/2001, dilansir situs Mahkamah Konstitusi (MK), Jumat (20/6/2025). Agenda sidang mendengar keterangan DPR serta keterangan Ahli dan Saksi Pemohon Perkara Nomor 142/PUU-XXII/2024.

Perkara ini menguji Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor berisi ketentuan yang menjerat perbuatan melawan hukum yang mengakibatkan kerugian negara dan menguntungkan pihak tertentu. Pemohon menghadirkan Chandra M Hamzah yang juga mantan Wakil Ketua KPK periode 2007-2009.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Chandra mulanya menjabarkan isi Pasal 2 ayat (1) UU Tipikor berikut bunyinya:

"Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana penjara dengan penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah)".

Chandra juga menjabarkan isi Pasal 3 UU Tipikor yang berbunyi:

"Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan atau denda paling sedikit Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah)".

Chandra menerangkan isi pasal tersebut bisa menimbulkan masalah. Dia menyebut perumusan isi pasal ambigu dan bisa melanggar asas lex certa maupun lex stricta.

"Menimbulkan problematika, tidak boleh ada perumusan delik yang kurang jelas atau bersifat ambigu maupun tidak boleh ditafsirkan secara analogi sehingga tidak melanggar asas lex certa maupun lex stricta," kata Chandra.

Chandra menerangkan isi Pasal 2 ayat (1) UU Tipikor yang ditafsirkan salah bisa menjerat penjual pecel lele di trotoar. Kata Chandra, penjual pecel lele bisa dijerat UU Tipikor Pasal 2 ayat (1) karena melakukan perbuatan melawan hukum dengan berjualan di atas trotoar yang seharusnya digunakan pejalan kaki.

"Berdasarkan ketentuan Pasal 2 ayat (1) UU Tipikor, maka penjual pecel lele di trotoar juga dapat dikenakan sanksi tersebut. Sebab, penjual pecel lele termasuk "setiap orang" yang melakukan perbuatan "melawan hukum" dengan berjualan di atas trotoar yang seharusnya digunakan pejalan kaki," kata Chandra.

"Maka penjual pecel lele adalah bisa dikategorikan, diklasifikasikan melakukan tindak pidana korupsi, ada perbuatan, memperkaya diri sendiri, ada melawan hukum, menguntungkan diri sendiri atau orang lain, merugikan keuangan negara," imbuhnya.

Sementara itu, kata Chandra, Pasal 3 UU Tipikor frasa 'setiap orang' bisa mengingkari esensi dari korupsi itu sendiri. Sebab, kata Chandra, tidak setiap orang memiliki kekuasaan yang cenderung korup. Padahal juga, ketentuan ini telah menegaskan adanya jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.

"Kesimpulannya adalah Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Tipikor kalau saya berpendapat untuk dihapuskan karena rumusannya melanggar asas lex certa, perbuatan apa yang dinyatakan sebagai korupsi. Kemudian yang kedua, merevisi Pasal 3 Undang-Undang Tipikor dengan mengganti, menyesuaikan dengan Article 19 UNCAC yang sudah kita jadikan norma, 'Setiap Orang' diganti dengan 'Pegawai Negeri' dan 'Penyelenggara Negara'," kata Chandra.

"Karena itu memang ditujukan untuk Pegawai Negeri dan kemudian menghilangkan frasa 'yang dapat merugikan keuangan negara dan perekonomian negara' sebagaimana rekomendasi UNCAC," tambahnya.

Dalam sidang itu, pemohon juga menghadirkan Ahli Keuangan Amien Sunaryadi yang juga mantan wakil ketua KPK periode 2003-2007. Amien mengatakan data survei menyebutkan jenis korupsi yang paling banyak terjadi di lapangan ialah suap.

Dia juga menyebutkan, aparat penegak hukum di Indonesia itu lebih banyak mengejar korupsi jenis merugikan keuangan negara.

"Cara kerja aparat penegak hukum dan juga pemeriksa keuangan tidak akan menjadikan Indonesia bebas dari korupsi, karena korupsi yang paling banyak adalah suap, korupsi yang ditulis di Undang-Undang yang berlaku Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi adalah suap tapi yang dikejar-kejar merugikan keuangan negara," kata Amien.

(whn/dhn)

Loading...

Hoegeng Awards 2025

Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini

Read Entire Article
Koran | News | Luar negri | Bisnis Finansial